Kalian tau apa yang bikin saya seneng. Itu lho, kalian sampe bolak-balik buat ngecek apakah cerita ini sudah up atau belum :( bahkan beberapa dari kalian antusias kalo vote udah nyampe target. Saya emang gila vote, masalah? Wkwkwkkw. Nggak deng. Vote saya jadikan rentang update biar jelas kapan waktu saya buat up meski saya nggak akan munafik seneng banget kalo votenya banyak 👍
"HEH!!!"
Tubuhku terkesiap kaget.
Satria memandangku dengan alis terangkat. "Apaan, bro?"
"Lo kayak mayat hidup tahu nggak, Gi. Jam berapa lo tidur?"
Pertanyaan bagus. Jam berapa aku tidur semalam? Kurasa aku nggak tidur, sama sekali. Yang kulakukan hanya berkutat dengan ponselku berharap Gery mengangkat telepon atau setidaknya membalas pesanku. Tahu-tahu, jam telah menunjukkan pukul 6 pagi lalu aku pun berjalan lunglai ke kamar mandi untuk gosok gigi setelah itu pergi ke kampus seperti mayat hidup.
"Yeeeay! Pak Beni nggak akan masuk hari ini. Kita ke kantin yuk, Jal?" Telingaku mendengar seseorang berseru. Sontak aku bangkit kemudian berjalan ke fakultas seni musik.
"Gi lo mau ke ma—"
"Kantin!" tukasku kesal. Tujuanku bukan ke kantin, melainkan mencari Gery. Aku harus minta maaf padanya.
Beruntung kelas Gery dosennya nggak masuk karena mungkin hujan turun menghujami bumi dengan derasnya. Di saat hujan badai seperti ini dosen biasanya telat masuk. "Gi!" teriak Ian dari koridor dekat dengan pintu lift. Segera kuhampiri Ian, lalu setelah sampai di depannya kuatur napasku supaya lebih tenang.
"Lo liat Gery?"
"Lo liat Gery?"
Kami berdua mengucapkan kalimat yang sama persis. Hatiku rasanya mencelus menuju jurang. Ja-jadi Gery nggak masuk hari ini? "Jiah gue kira lo tahu di mana si Gery karena lo sekamar sama dia."
"Gu-gue nggak tahu di mana dia."
"Iya, Gi. Gue juga bingung nih bagaimana caranya ngehubungin dia, mana hari ini ada rapat penting lagi. Duh tolong banget nih, lo bisa telepon dia nggak? Siapa tahu nomornya ganti."
Aku mengangguk sambil mencoba menelepon nomor Gery. "Nggak aktif."
"Bangsat tuh orang! Oke makasih, gue mau lanjut cari dia."
Di koridor ini aku bergeming cukup lama sebelum akhirnya gempita petir membuyarkan lamunanku lalu aku pun pergi menembus hujan menuju fakultas bahasa. Kuhampiri kelas Siska, sayangnya dosen sedang mengajar lalu aku pun terpaksa duduk di kursi tunggu yang ada di samping kelasnya. Selama 35 menit aku menunggu. Ketika dosen dan beberapa mahasiswa keluar, aku berujar, "Maaf teh Siskanya ada?"
"Siska ya? Dia nggak masuk hari ini."
"Kenapa?"
"Katanya sakit."
Tenang. Aku harus tenang.
Kuambil ponselku di dalam saku kemudian kucari satu pesan dari Karin yang dia kirim tadi pagi.
Saat kucoba meneleponnya, ternyata langsung diangkat.
"Halo, Rin?"
'Eh Irgi, ada apa nih?'
"Teh Siska ada di rumah?"
'Nggak tahu aku lagi di sekolah. Ada apa?'
"Ah nggak. Boleh minta alamatnya? Gue ada perlu nih sama sepupu lo."
'Gue kirim via sms aja kalo gitu.'
"Sip. Makasih, Rin."
'Lo lagi ada masalah? Jujur aja gue tahu kok. Lo panik, Gi.'
KAMU SEDANG MEMBACA
IRGI [MxM] [Tamat]
RomanceIni cerita gue tentang asam manisnya menyukai pria straight. Ya, tentang gue yang secara tak sengaja sharing kamar karena preman itu mengeluh biaya kosnya mahal sekali. Dialah Gery, pejantan straight yang sejujurnya telah membuat gue nyaris bunuh di...