Tiga Puluh Empat (Tamat)

24.3K 1.1K 324
                                    

Bab terakhir. Kalian siap? Kalo saya sih nggak, wakakak. Bab ini super panjang sesuai janji saya. Belum saya edit, jadi kayaknya bakal banyak typo. Sorry kalo endingnya gak sesuai harapan kalian.

Dengan begini, akhirnya perjalanan Irgi ... selesai.

Ekstra partnya bakal ada kayaknya kalo votenya banyak. Jadi jangan dulu dihapus cerita ini yak wakakak

Nb. Sueerr banyak typo, banyak kalimat yang aneh, gak sesuai, jadi maaf ya..gak.saya edit soalnya :(

Irgi POV's

'Setelah lo sembuh, gue ajak lo ke kampung halaman gue, ke tempat di mana gue dibesarkan, masa kecil gue.'

Kalimat Danar terus-terusan mengiang dalam pikiranku. Aku semakin ingin pergi ke sana. Sayangnya, sakitku ternyata parah. Saking parahnya aku sampai dibawa ke rumah sakit kemudian inap malam selama dua hari di sana. Tanganku juga diinfus. Seumur hidupku, baru kali ini aku masuk rumah sakit dan hal itu membuat Abah dan juga Emak panik.

"Aa apa yang sakit?" tanya Abah.

Aku menatapnya sebentar lalu menggeleng. Entah kenapa, meski aku merasa kasihan melihat Abah khawatir padaku, tapi tetap saja aku masih kesal padanya karena melarangku ikutan seleksi beasiswa ke Jepang.

"Mau buah-buahan? Abah kupasin."

Aku menggeleng lagi. "Cil, lo udah baikan?"

Aku juga ikutan kesel sama Danar. Kutarik selimutku hingga menutupi wajah. Helaan napas Abah langsung terdengar oleh telingaku. "A, Abah tetep gak setuju kamu merantau ke negeri orang. Terserah kamu mau ngambek sama Abah, pokoknya Abah nggak setuju."

Lalu Abah pun pergi ke luar.

Sorenya Abah datang lagi menjengukku. Dia memakai baju batik pembelianku dulu yang kubeli di Borobudur. Sikapnya masih dingin, seakan menegaskan, dia gak akan pernah mengizikanku untuk ikutan seleksi ujian.

Hopeless.

Mulai sekarang aku gak akan banyak berharap. Kini masa depanku sudah ditetapkan. Aku sudah berhenti kuliah. Dengan begitu, aktivitasku setelah sembuh dari sakit ini sudah jelas. Ya, berjibaku mengurus kebun, bertani seperti saudara-saudaraku yang lain.

Baiklah.

Lagi pula aku tak berharap banyak soal jalan hidupku.

Aku berasal dari keluarga yang sederhana, tinggal di pedesaan yang sederhana pula, belum terkontaminasi dengan teknologi dan kehidupan urban. Kisah hidupku gak akan sedrama kisah roman picisan. Mungkin, kelak aku akan menikah atau lebih tepatnya dijodohi dengan wanita sederhana yang gak akan terlalu banyak bertingkah.

Persetan dengan semuanya.

Kalau tau begini akhirnya, aku gak akan repot-repot menjadi mahasiswa teladan.

***

Aku drop. Entah berapa lama aku tak sadarkan diri, namun saat aku terbangun aku melihat Abah, Emak, dan juga sodara-sodaraku menangis. Danar ada di sana, menatapku khawatir. Brengseknya, bisa-bisanya mataku mengedar untuk mengecek apakah Gery ada di sana atau tidak.

Tubuhku lelah, pikiranku lemas. Entah kenapa aku merasa lelah dengan semuanya.

"Gi? Gimana? Apa yang sakit?"

Lagi, aku menggeleng.

Namun anehnya aku malah menangis. Ketika aku berpikir mungkin saja aku akan mati besok, pikiranku langsung terfokus akan dosa yang telah kuperbuat. Selama aku hidup, apa yang telah kuperbuat pada manusia? Pada keluarga? Pada dunia? Lalu seberapa besar bekalku nanti untuk akhirat? Semakin memikirkan itu, air mataku semakin deras keluar.

IRGI [MxM] [Tamat]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang