Mereka, sampai di dermaga Ignorend saat hari menjelang matahari terbenam, kira-kira pukul lima sore. Aro turun dari kapal dipapah oleh Rex karena masih merasa pusing dan mual.Haruskah nanti dia bertanya pada ayahnya kenapa dia bisa mabuk laut? Apa dewa Poseidon tidak mengizinkan keponakannya itu berada di wilayahnya atau bagaimana? Tapi, kenapa Maxime tidak mabuk laut? Apa Poseidon takut diseret ke alam bawah? Entahlah, yang jelas Aro kapok kalau harus melewati jalur laut lagi.
“Selamat datang, di Ignorend.” Senyum Axel mengembang, seperti bangga bisa mengantarkan teman-temannya ke sana.
“Kau mau beralih profesi sebagai tour guide?” ledek Ken.
Axel mengangguk-angguk, “Bisa jadi, mengingat kalian tidak memiliki pengetahuan sama sekali tentang tempat ini.”
Maxime merotasikan matanya jengkel, “Oh, yeah. Tuan sok tahu, jadi kita kemana sekarang?” tanyanya sambil membetulkan ransel besarnya.
Alih-alih menjawab pertanyaan Maxime, Axel memilih mengalihkan pandang pada River yang masih menelisik sekitarnya dengan kening berkerut, “River, apa kau pernah melihat tempat ini sebelumnya?” tanya Axel.
River menggeleng, “Tidak, aku tidak pernah melihatnya.”
Arsen tersenyum tipis, lalu menepuk bahu River. “Tidak apa-apa, bukankah Ignorend ini sangat luas? Mungkin kita bisa menemukan petunjuk lain di kota.” Lalu Arsen melirik Axel. “Jadi kita kemana?”
“Kita tidak bisa ke kastil Vlad. Tidak ada manusia, atau darah campuran yang diperbolehkan masuk ke sana. Jadi, kita akan pergi ke timur, menuju kastil Elios. Aku yakin, kita bisa menemukan banyak petunjuk di sana. Ayo.” Axel memimpin perjalanan seolah dia sudah sangat mengenal daerah itu dengan baik.
Teman-temannya saling pandang, namun tetap mengikuti Axel yang sudah berjalan lebih dulu. Meski mereka jengkel, tapi mereka tahu Axel akan menjadi pemandu yang baik bagi mereka.
Jadi, mereka bertujuh berjalan di atas papan kayu meninggalkan dermaga.
Mereka menapaki hamparan pasir putih melewati beberapa rumah perkampungan nelayan, tidak banyak rumah di sana, kurang lebih hanya ada dua puluh rumah.Sejujurnya, mereka risih karena sepanjang perjalanan melewati perkampungan nelayan itu beberapa pasang mata mengamati mereka. Bersyukurlah, yang mereka temui manusia biasa, orang awam yang tidak bisa membedakan manusia biasa dengan manusia yang berbeda seperti mereka.
“Kau yakin, tidak akan ada yang tahu siapa kita?” tanya Rex dengan suara pelan, takut-takut terdengar oleh penduduk setempat.
“Ya, mereka tidak sensitive untuk bisa mengetahui kalau kita ini..” Axel mencoba mencari kata-kata yang tepat.
“Manusia yang keren.” Ken akhirnya menambahi. Ya, manusia yang keren kata yang bisa diterima mereka.
Perkampungan nelayan itu berakhir dengan sebuah sungai beraliran deras yang membelah antara perkampungan nelayan dengan gerbang kota di depan mereka. Jembatan kayu dengan sulur-sulur pohon yang kuat sebagai penyangga jembatan itu terlihat kokoh dan aman untuk disebrangi. Ketujuh pemuda itu menyebrang, Aro yang sepertinya masih trauma tidak ingin melihat ke bawah, karena dua meter dari jembatan itu ada sungai yang alirannya bisa menyeret mereka langsung kembali ke Teluk Sarvor.
Elios, sebuah kota yang ramai. Rasanya tidak terlalu jauh berbeda dengan suasana di Constanta, begitu melewati gerbang kota, mereka langsung disuguhi dengan bangunan-bangunan berwarna-warni yang berjajar rapi, lampu-lampu berkelap-kelip yang melintang di atas mereka mulai menyala karena hari mulai gelap.
Disudut lain, depan toko bunga, seorang pemusik jalanan menarik perhatian para pejalan kaki. Anak-anak yang bermain bola di jalan tanpa terganggu. Elios, adalah kota yang ramai dan menyenangkan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Constantine #2 : Bangkitnya Illuminati ✔
FantasíaOriver pikir dia sebatang kara, sampai sebuah simbol iluminati muncul di lehernya saat melawan Vernon Armstrong sang pegkhianat. Simbol yang dipercaya hanya dimiliki oleh mereka yang memiliki garis keturunan Count Vladimir, sang Vampire penguasa per...