Aroma bunga lilac memenuhi penciuman Daryn, pria itu menghirup dalam-dalam wangi yang selalu mengingatkannya pada sang kekasih, Ariana, menambah kerinduannya yang terasa tidak pernah hilang dan berkurang, menyesakan Daryn disetiap harinya meski sudah berlalu sangat lama.
Daryn Vladimir, tidak pernah membayangkan saat ini akan tiba, bahkan untuk memimpikan hari ini pun rasanya dia tidak berani, hari di mana dia bisa bertemu anaknya, Oriver.
Hari di mana dia bisa memeluk anak yang dulu dia tinggalkan sendirian di gang gelap yang becek dan berbau tak sedap, hari di mana dia bisa mendengar langsung sang anak memanggilnya ayah.
Seharusnya ini jadi hari yang sempurna, tapi sepertinya sempurna yang Daryn inginkan tidak akan pernah terwujud, sama seperti dulu saat dia ingin bersama Ariana untuk menyempurkan hidup mereka satu sama lain.
Kali ini, hal itu terulang lagi, bagaimana Daryn melihat mata River yang terlihat terluka dan kecewa saat dia mendengar bahwa ayahnya sendiri mengatakan bahwa anaknya sudah mati. Daryn cukup yakin setelah ini River mungkin akan menolak untuk mendengar penjelasan darinya.
“Kau selalu melihat bulan saat sedang merindukan Ariana, Daryn.”
Daryn menoleh, Aura, berjalan ke arahnya, senyum tipisnya mengembang kemudian duduk di sebelah Daryn. Aura, ikut menghirup wangi bunga lilac yang diterbangkan angin tengah malam itu, bercampur dengan wangi bunga lain yang dia tanam di kebun bunganya di seberang sana, bersebrangan dengan kebun bunga lilac milik Daryn.
“Apa, sekarang kau sedang merindukannya?” tanya Aura lagi.
Daryn kembali menengadah, menatap bulan sempurna di atas langit malam. “Selalu, aku selalu merindukannya.” Jawabnya.
“Bukankah seharusnya rasa rindumu itu berkurang, karena ada Oriver di sini?”
“Ya, seharusnya. Aku bahkan tidak pernah berani untuk membayangkan bisa bertemu dengannya lagi,” mata biru laut Daryn menatap saudara perempuannya itu, “Aku bahkan tidak pernah berharap dia memiliki keberanian untuk mencariku ke sini, karena aku tahu hal ini akan terjadi, tidak akan ada yang berpihak padaku untuk mempertahankan Oriver. Dan pada akhirnya, kami akan terluka lagi.”
Aura menggenggam tangan Daryn, meremasnya pelan, “Maaf Daryn, aku tidak cukup berani seperti Audrey untuk membantumu menyelamatkan Ariana dan Oriver.” Seharusnya Aura mengatakan hal ini dari dulu, rasa penyesalan karena tidak seberani Audrey, saudaranya yang lain untuk membantu Daryn kala itu, saat perang terjadi.
Daryn mengusap tangan Aura, seulas senyum terukir tipis di wajahnya, “Tidak apa, kau sudah membuat keputusan yang tepat, Aura. Kau memang harus tetap di sini untuk melindungi anakmu.”
“Kalau Ariana masih di sini, pasti dia kan kesal karena anaknya sangat mirip denganmu.” Aura mengganti topik pembicaraan. “Apalagi matanya, dalam sekali lihat saja aku langsung tahu kalau dia anakmu, Daryn. Oriver memiliki mata yang sama persis sepertimu.”
Daryn tertawa kecil, “Ya, kau benar. Ariana pasti akan langsung mengomel karena Oriver adalah cetak biru dari Daryn Vladimir.”
“Kecuali keras kepalanya, aku rasa.” Timpal Aura.
Daryn mengangguk, “Kecuali keras kepalanya.” Pria itu mengiakan.
“Kau harus bicara dengannya besok.”
“Akan aku coba.” Daryn menghirup udara lagi, “Besok tolong rangkaikan bunga lilac lagi untuk ku, ya.”
“Kau akan mengunjunginya lagi?”
“Iya, aku ingin berterima kasih padanya, karena sudah membawa anak kami ke sini.”
***
Mata itu tidak berkedip, seolah ingin menangkap setiap detik saat semburat cahaya matahari menyirami hutan-hutan pinus yang masih tertutup kabut tebal.
KAMU SEDANG MEMBACA
Constantine #2 : Bangkitnya Illuminati ✔
FantasiOriver pikir dia sebatang kara, sampai sebuah simbol iluminati muncul di lehernya saat melawan Vernon Armstrong sang pegkhianat. Simbol yang dipercaya hanya dimiliki oleh mereka yang memiliki garis keturunan Count Vladimir, sang Vampire penguasa per...