Matahari baru saja naik ke permukaan dua jam yang lalu, tapi ketujuh pemuda ditambah seorang gadis yang sibuk mengikat tali sepatu boots hitamnya diundakan tangga itu sudah bersiap untuk pergi dari kastil Elios.
Setelah perdebatannya dengan sang ayah semalam, Puteri Irene terlihat sangat bersemangat karena bisa ikut dengan River dan teman-temannya keluar dari Elios. Seumur hidupnya, ini adalah salah satu cita-citanya, keluar dari Elios untuk berpetualang, seharusnya Puteri Irene berterima kasih pada saudaranya karena akhirnya Irene bisa memulai petualangannya.
Ataukah, Puteri Irene harus berterima kasih pada pemuda yang sedang berbincang dengan pemuda berambut pirang di sana itu? Arsen. Ya, mungkin nanti dia harus berterima kasih.
“Kau sudah membawa pedangmu? Kau sudah menyelipkan pisau lipat di sepatumu?” tanya Raja Osfaldo, entah sudah yang keberapa kali membuat Puteri
Irene mendesah kesal lalu menatap sang Raja. “Ayah, aku ini bukan anak kecil lagi.” Protesnya, “Aku bisa menjaga diriku sendiri. Dan ya, aku sudah membawa semua yang aku perlukan. Jadi, ayah tenang saja.” Puteri Irene mengusap lengan ayahnya sekilas sebelum mencangklong tas ransel hitamnya.
“Paman tenang saja, kami akan memastikan keselamatan anak paman ini.” River mengapit lengan Puteri Irene, memperlihatkan seberapa akrab mereka meski setelah Raja Osfaldo mengangguk dan menatap ke arah lain Puteri Irene mencubit lengan half blood itu.
Setelah segera mereka semua siap, mereka lekas berangkat meninggalkan kastil Elios. Puteri Irene menoleh ke belakang sekali lagi saat hampir melewati gerbang istana.
Mereka memilih untuk berjalan kaki ketimbang naik kuda. Kembali masuk ke dalam hutan Alos kali ini terasa tidak semenyeramkan sebelumnya bagi Aro, ya, untuk apa juga dia takut, ayolah, dia anak dewa, dia tidak mudah mati lagipula, sekarang ada Puteri Irene yang ikut bersama mereka, Aro tidak ingin terlihat lemah.
Bukan, bukan dia menyukai Puteri Irene atau semacamnya dan ingin terlihat keren di mata sang Puteri, tapi sebagai laki-laki, Aro juga ingin menunjukan sisi beraninya.
“Jadi, apa yang semalam itu?”
Arsen, yang berjalan paling belakang bersama Ken menoleh pada Rex yang tahu-tahu sudah berjalan bersisian bersama mereka. Kening Arsen mengerut, alisnya terangkat sebelah berusaha mencerna pertanyaan Rex yang begitu tiba-tiba.
“Semalam apa?”
Rex berdecak, kemudian menunjuk ke depan dengan dagunya. “Janjimu pada Raja Osfaldo untuk menjaga puterinya.”
Arsen meneguk ludah, seharusnya dia tidak usah terlalu kaget jika ada temannya, atau bahkan mereka semua bertanya ada apa dengan Arsen yang tiba-tiba berjanji pada Raja Osfaldo malam kemarin. Arsen bahkan sudah menyiapkan jawabannya, jawaban yang paling klise.
“Dia saudari River. Harusnya tidak ada yang salah kalau aku berjanji menjaganya?”
Rex menatap Arsen dengan tatapan tidak percaya, “Termasuk berjanji menjaganya dengan membawa-bawa nyawamu? Rasanya itu terlalu…berlebihan.” Kata Rex lagi.
“Benar.” kali ini Ken menyahut, “Itu terlalu berlebihan.” Ken mengerling pada Arsen.
Oh, ingin rasanya Arsen menyikut Ken, atau menginjak kaki pemuda itu karena sudah ikut bicara yang malah membuat Rex sekarang menatap mereka berdua curiga.
Arsen tertawa sumbang, mengalihkan pandangannya pada pepohonan besar yang beradi di kiri dan kanan jalan mereka.
“Aku tidak merasa ada yang berlebihan dengan itu.” Kemudian dia memanggil Axel yang berjalan sendirian di tengah. Setengah berlari dia akhirnya berjalan di samping Axel yang menatapnya seolah berkata kenapa kau meneriaki namamu begitu keras? Namun, lagi-lagi Arsen hanya tertawa sumbang, sebelum merangkul Axel, berusaha tidak menunjukan kegugupannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Constantine #2 : Bangkitnya Illuminati ✔
FantasíaOriver pikir dia sebatang kara, sampai sebuah simbol iluminati muncul di lehernya saat melawan Vernon Armstrong sang pegkhianat. Simbol yang dipercaya hanya dimiliki oleh mereka yang memiliki garis keturunan Count Vladimir, sang Vampire penguasa per...