3. Who are you?

8.5K 1.2K 55
                                    

بِسْــــــــــــــــــمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ

Happy Reading!

•••

Pintu operasi terbuka. Zoya yang sudah steril dengan memakai baju scrub dibuat terpaku di tempat melihat Dokter Akbar sudah berada di ruangan operasi miliknya. Bagaimana tidak binggung sebab tak ada satu orang pun yang memberi tahu Zoya bahwa mereka akan berada dalam satu meja operasi.

Rania dengan sigap memakaikan Zoya jubah operasi dan atribut lainnya. Tangan Zoya sudah terbalut sarung tangan bedah. Zoya berdiri diam di depan Dokter Akbar yang berada di sebrang pasien yang sudah terbius.

“Apa yang Anda lakukan di sini?” tanya Zoya. Dokter Akbar mengangkat alisnya, pertanyaan macam apa yang diajukan Zoya ini? Dokter Akbar dapat melihat mata sembab keponakannya yang tertutup masker operasi.

“Baiklah, sebelum kita melakukan operasi mari kita berdoa menurut agama dan keyakinan kita masing-masing. Semoga Allah, Tuhan Yang Maha Esa bersama kita sem—“

“Saya bertanya apa yang Anda lakukan di sini?!” potong Zoya cepat. Mood Zoya benar-benar hancur melihat Dokter Akbar berada satu meja operasi dengannya. Ini bukan keadaan yang baik untuk mereka, apalagi mengingat konflik batin antar keduanya.

Semua yang ada di ruangan operasi terkejut. Suara Zoya benar-benar tajam dan tegas. Dokter Akbar menghela napasnya. “Kamu adalah asisten saya dalam operasi kali ini.”

Mata Zoya membulat. Tidak mungkin! Hal yang paling dihindari Zoya saat di rumah sakit adalah Dokter Akbar. Dan bagaimana mungkin mereka berada dalam satu ruang operasi?

“Baiklah semuanya, berdoa dimulai.”

Saat semuanya tertunduk memejamkan mata berdoa pada Tuhan dengan keyakinan mereka masing-masing  Zoya malah termenung berperang dengan dirinya sendiri.

Berdoa selesai. Dokter Akbar maju lebih dekat dengan pasien. Dokter Anestasi memperhatikan tekanan darah dan vital pasien dengan seksama. Dokter Akbar memandang Zoya di hadapannya.

“Kamu tidak berdoa?”
Semua sorot mata melihat Zoya. Zoya memandang lekat Dokter Akbar. “Saya tidak berdoa. Tak perlu!” jawab Zoya begitu sombong. Dokter Akbar menyunggikan senyum, tersenyum pahit. Dia masih Zoya sama dengan 12 tahun yang lalu.

Dokter Akbar meminta pisau bedah pada perawat instrumen yang berkerja di ruang operasi. Dokter Akbar mengucap ‘bissmilah’ sebelum menyayat perut pasiennya itu. Zoya masih bungkam, sungguh pamannya ini sangat berbanding terbalik dengan dirinya sendiri.  Pamannya selalu mengingat Allah disetiap tindakannya sementara Zoya membuang jauh-jauh nilai itu pada dirinya.

Sepanjang operasi Zoya bungkam. Jika bukan karena pasien itu mungkin Zoya sudah keluar ruang operasi sejak tadi. Bagi Zoya, tidak ada yang lebih penting dari pasiennya.

“Dokter Zoya, apa kamu sehabis menangis?” tanya Dokter Akbar disela-sela waktu operasi. Zoya menghentikan aktivitasnya, dia memandang tajam Dokter Akbar. Semua perawat menutup mulutnya rapat-rapat tak ingin mengomentari Zoya, walaupun mereka semua tahu mata Zoya sembab.

“Wah, Dokter Zoya yang terkenal sadis ini rupanya bisa menangis ya?” sindirnya tajam. Sungguh itu bukan lelucon yang lucu. Zoya mati-mati tak bersuara. Dia menganggap semuanya hanya angin lalu. Ia benar-benar ingin operasi ini segera selesai.

ZoyaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang