26. Trauma

1.3K 222 1
                                    

بِسْــــــــــــــــــمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرّ َحِيم

Happy Reading!

•••

Hanya dentingan sendok yang saling beradu mengisi keheningan. Suasana makan malam menjadi canggung karena kejadian tadi sore. Zoya terus melamun dengan wajah yang masih pucat pasi. Haikal memandang Zoya yang hanya diam saja. Mereka tidak tahu siapa lelaki tua itu. Saat mereka mendekat dan ingin bertanya, Zoya langsung mengajak paksa mereka pergi tanpa kata.

“Mbak Zoya?” panggil Alisha.
Tidak ada respon. Haikal dan Bona saling bertukar pandang.

“Mbak?” Alisha menyentuh lengan Zoya. Wanita itu terkejut dan napasnya tak karuan.

“Ha? Kenapa?” jawab Zoya sambil merapikan rambut dan wajahnya yang berkeringat. Entah apa yang ada dipikiran Zoya tapi yang pasti ini bukan situasi yang baik. Lelaki itu kembali. Pembunuh itu telah bebas. Hidup Zoya dalam bahaya.

“Aku kayak kecapean. Aku balik duluan,” lanjut Zoya sambil beranjak pergi dari restoran.

Langkah kakinya masih bergetar menuju parkiran. Zoya mengigit kukunya sambil membuka pintu mobil. Ini gila! Kenapa lelaki itu bisa menemukannya? Apalagi saat Zoya sedang bersama teman-temannya. Tidak! Mereka tidak boleh tahu soal ini.

Tangan Zoya begitu dingin dan bergetar hebat memegang stir mobil. Jujur, Zoya ketakutan. Apa yang harus ia lakukan? Bagaimana jika lelaki itu menemukan tempat tinggalnya? Lalu apa yang harus ia lakukan jika lelaki itu pergi ke rumahnya?

Hal pahit yang harus kuterima adalah kenyataan bahwa ia adalah ayahku.
Denyut nadi Zoya masih tak beraturan. Ia mencoba mengatur napas dan menyandarkan tubuhnya. Kedua matanya terpejam mencoba menetralisir seluruh syaraf di dalam tubuh. Namun mendadak bayangan itu datang.

Darah, kilatan pisau, dan suara itu. Jeritan di sana sini dan suara barang pecah terasa memekakkan telinga. Kedua tangan Zoya menutup telinganya erat, namun gagal. Suara itu masih terus bersahut-sahut. Mata Zoya bergerak resah kembali. Tangannya membanting stir berulang kali dan menjerit-jerit.

“Pergi!! Akhhhh!”

“Suara siapa ituuu! Akhhhh!”

Zoya membuka pintu mobilnya dan keluar. Terasa seperti ada yang ingin keluar dari perutnya. Ia berlari ke sudut parkiran dan memuntahkan seluruh makanannya tadi. Kakinya tak sanggup lagi menapak sampai ia terduduk dan bersandar pada pohon di sampingnya.

Kedua sudut bibirnya terangkat. Dia tersenyum memandang langit malam. Dokter bedah ini mendadak terdiam. Matanya mulai berkaca-kaca menerawang lurus ke depan. Punggungnya mulai naik turun terisak. Belum sampai air matanya terjauh, dia sudah mendadak tertawa lepas. Tawanya tak bisa terhenti bahkan perutnya sampai sakit. Sudut matanya sudah berair.

Zoya menangis dan menertawai dirinya sendiri.

***

“Dokter Zoya!”

Langkah Zoya terhenti. Seorang perawat memanggil Zoya dari nurse station.

“Ya?” jawab Zoya datar.

“Dokter Zoya, jam dua nanti ada jadwal operasi di ruang 2. Dokter Akbar minta Dokter Zoya tidak pergi kemana-mana hari ini. Dokter diminta masuk ke ruang operasi,” jelas perawat itu was-was kena semprot Zoya.

“Operasi? Saya masih dilarang masuk ruang operasi,” ujar Zoya tanpa ekspresi.

Perawat itu mengaruk kepala belakanganya. “Ini perintah Profesor Ali.”

ZoyaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang