بِسْــــــــــــــــــمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ
Happy Reading!
•••
Aku baru saja keluar dari ruangan operasi. Tengkukku terasa begitu pegal sampai digerakan terdengar suara yang memekakan telinga.
Kecelakaan tadi menjadikan perkerjaanku semakin menumpuk. Aku melewatkan satu operasiku. Alhasil, jadwal operasi berantakan. Namun aku tak menyesal menolong anak-anak tadi.
Mereka mengingatkan pada diriku dulu. Walaupun karna hal itu aku jadi kesulitan mengatur waktu istirahatku. Mungkin sebentar lagi aku yang akan berada di ranjang pasien.
Rania berjalan lesu di belakangku. Dia menjadi perawat scrub bersamaku tadi. Ya, harus kuakui kecekatannya sebagai perawat yang mendampingku boleh diacui jempol. Namun sayangnya aku sama sekali tak berniat memuji. Itu hanya semakin membuatnya besar kepala nantinya. Hal itu juga hanya akan membuang-buang waktuku.
“Eh Zoya!” teriak Bona memanggil namaku. Rupanya dia berada di ruang operasi di sebelahku. Dia ada jadwal operasi juga rupanya. Kupikir dia hanya akan membesarkan perutnya dari gaji seorang dokter.
“Minggir. Wajahmu merusak pemandanganku.” usirku tajam.
Dia malah tertawa mengertak giginya dihadapanku. Aish, kodok bancet ini minta dibedah rupanya. Namun syukurlah, aku sangat lelah untuk mengeluarkan energiku memutilasi dia.
Kadang aku merasa heran. Logat bataknya tak hilang-hilang meski dia tinggal bertahun-tahun diluar kampung halamannya. Namun yang lebih membuatku heran, kenapa bisa aku berteman denganya? Dari masa kuliah kedokteran sampai menjadi dokter. Aku hampir gila memikirkannya.
“Zona merah.” Kudengar Rania membisikan itu pada Bona. Akhirnya mereka berjalan di belakangku. Aku benar-benar kelelahan. Lambung kosong dan dia pasti terus mengiling tanpa henti. Ini tak baik.
“Huh, apa kita tak ada hari libur? Badan Rania pegel banget.” keluh Rania sendirian. Bona pun mengiyakan pernyataan Rania.
Walaupun sejujurnya di dalam hati aku juga ingin berkata seperti itu. Namun, tidak! Orang lain tak boleh melihatku lemah. Aku benci dikasihani jadi untuk apa aku mengungkapkan apa yang kurasa. Toh, pada akhirnya mereka hanya akan bungkam dengan apa yang ada dalam diriku.“Mba Zoya...” jerit Alisha begitu melihatku.
Gadis berhijab merah maroon itu berlari menubruk diriku. Aku melempar sorot tajam sampai dia mengulum bibirnya dan menyengir seperti kuda. Aku berjalan lagi tanpa menoleh saat dia memanggilku lagi.
“Pasien anak-anak yang tadi itu Mba Zoya yang tanganin kan? Wah, Mba Zoya keren. Alhamdulilah, berkat penanganan cepat Mba Zoya mereka semua baik-baik aja. Hanya anak laki-laki itu yang mendapat operasi sama dokter bedah saraf, Dokter Jailani. Allah Maha Baik mengirim Mba—““Cukup!”
Langkah kakinya terhenti. Dia terdiam. Aku berdiri menghadapnya. Dia gelagepan mengelak dari sorot mataku. Kenapa dia begitu banyak bicara? Aku tak suka! Aku terus mengintimidasi Alisha. Tangannya mencengkram erat jas dokternya. Moodku buruk dan dia mengacaukannya. Allah, Allah, dan Allah. Jangan bicarkan keagungannya dihadapanku.
Kutahu dia dokter IGD yang menerima pasien kecelakaan mini bus tadi. Namun mengapa dia begitu heboh? Ah iya, aku tak suka seseorang yang terlalu mencampuri dan mengurusi hidupku. Sejak awal aku mengenalnya dia selalu ingin ikut campur dengan kehidupanku. Dia pikir siapa dirinya?
“Menyingkir dari hadapanku.” titahku dengan nada dingin.
Kulihat tubuhnya menegang. Rania langsung menarik tubuh Alisha menjauh dariku. Bona menarik lenganku aku menyentaknya kasar.

KAMU SEDANG MEMBACA
Zoya
Spiritual[SELESAI] Zoya Raizel Bakri. Zoya, begitu aku dipanggil. Wow, siapa yang tak kenal diriku? Aku adalah bagian dari tangan Tuhan tapi mereka lebih mengenalku sebagai tangan kematian. Aku adalah bagian dari tangan Tuhan tapi aku membenci Tuhan. Jika...