بِسْــــــــــــــــــمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرّ َحِيم
Happy Reading!
•••
Malam itu suasana begitu hening. Rintikan hujan menyapu bersih aspal jalanan yang berdebu. Aku menarik selimutku setinggi dada. Suhu memakin dingin membuat kantung kemihku terasa penuh. Hm, aku benci sekali harus pergi ke kamar mandi malam-malam begini.
Menyebalkan! Aku turun dari tempat tidur dan beranjak pergi ke kamar mandi. Matanya masih sayup ketika kulihat seseorang berdiri pada kegelapan. Sosok seperti orang yang kukenal.
Ayah?
Terukir lengkungan dibibirku. Aku berlari ke arahnya namun sebelum itu aku merintih kesakitan. Pecahan kaca tertancap pada kakiku. Pedih sekali. Aku meringis kesakitan ketika darahku mengalir keluar. Kumelihat sekitar dan ternyata semua vas dan foto di rumahku sudah hancur.
Saat mulutku terbuka ingin memanggil bunda tiba-tiba suara piring pecah mengurungkan niatku. Kulihat ayah memecahkan semua barang dapur. Aku kaget dan mencoba melangkah mendekat sambil memanggil bunda. Tapi, bunda ternyata berada di sudut dapur.
Cahaya bulan samar-samar membuatku dapat melihat bunda menangis dan bersimpuh di depan ayah. Mataku membulat melihat ayah mendorong bunda dengan kasar.
Lampu rumahku memang sedang rusak jadi keadaan gelap menyulitkanku melihat ayah dan bunda. Aku ingin bersuara tapi takut.
Ayah pasti mabuk lagi. Entahlah, belakangan ini ayah sering pula tengah malam dengan keadaan mabuk. Bunda bilang ayah sedang banyak pikiran. Sebulan lagi aku ada pertandingan karate yang cukup bergensi. Pihak sekolah mengusulkanku ikut bertanding pada perlombaan itu. Aku yakin akan memenangkan emas lagi pada pertandingan ini. untuk kesekian kalinya, emas itu akan kupersembahkan untuk ayah.Ayah selalu membuang mendali yang kuberikan. Selalu. Sosok pahlawanku ini dulu adalah atlet karate yang terkenal bahkan sampai memenangkan emas di kejuaraan olimpiade. Namun itu tak berumur panjang, ayah mengalami kecelakan yang merusak tulang belakangnya. Ada keretakan yang membuat ayah harus pensiun dari atlet.
Ayah ... dia ingin anak laki-laki. Aku tahu itu. Dia ingin penerus untuk karirnya. Aku juga bersedia mewujudkan impiannya itu. Apapun untuk ayah. Tapi, aku tak suka ayah yang kasar pada bunda. Belakangan ini aku sering mendengar kabar ayah suka bermain judi di salah satu klub malam di kotaku. Seminggu yang lalu juga ada rentenir yang datang menagih hutang ke rumah. Apa keluarga akan hancur?
Ayah jadi suka main tangan dengan bunda, seperti sekarang. Aku mencoba mendekati mereka untuk melerainya. Langkahku tertatih sepertinya serpihan kaca itu masuk ke kakiku cukup dalam. Padahal esok hari aku ada latihan kareta gabungan dengan klub sekolah lain.
“Ini semua salahmu! Kamu yang membuatku seperti ini!”
“Mas, cukup. Nanti Zoya bangun.”
“Aku tak peduli dengan bocah sialan itu! Impianku hancur karenamu dan anak itu!”
“Massss, ampun! Jangan bawa Zoya ke masalah kita. Dia sangat menyayangimu.
“Dia anak sialan!Aku membencinya sama sepertiku membencimu!”
“Istighfar, Mas! Inget Allah.”

KAMU SEDANG MEMBACA
Zoya
Spirituale[SELESAI] Zoya Raizel Bakri. Zoya, begitu aku dipanggil. Wow, siapa yang tak kenal diriku? Aku adalah bagian dari tangan Tuhan tapi mereka lebih mengenalku sebagai tangan kematian. Aku adalah bagian dari tangan Tuhan tapi aku membenci Tuhan. Jika...