22. Terjun dalam Kegelapan

1.8K 224 10
                                    

بِسْــــــــــــــــــمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ

Happy Reading!

•••

Bona terburu-buru berlari saat tahu Rania kritis. Ia baru mendapat kabar tadi karena sedang di ruang operasi. Alangkah terkejutnya saat mendengar kondisi Rania. Walaupun Rania menyebalkan dan sulit diatur tapi tingkahnya membuat rindu. Ia pikir tak akan lagi bertemu dengan Rania ternyata Allah Maha Baik menolong Rania.

Ia sempat kaget melihat Rania dipindahkan ke ruangan ICU yang lain. Lebih tepatnya ini terlihat seperti ICU VIP. Bona masuk dan mendapati Dokter Jailani sedang memeriksa Rania ditemeni dengan dokter lain dan beberapa perawat.

“Bagaimana keadaan Rania, Dok?” tanya Bona.

Dokter Jailani mengajak Bona keluar ruangan sebentar, “Rania sudah stabil sekarang.”

Bagaikan semua batu yang menindih dadanya terangkat bersama dengan helaan napas panjang Bona. Namun sayangnya masih ada tali yang menjeratnya. Rania belum sadarkan diri.

“Kita hanya bisa menunggu.”

Begitulah pesan terakhir Dokter Jailani. Kini, Bona dan Alisha duduk di bangku taman rumah sakit. Dinginnya malam menusuk kulit begitu tajam. Namun seolah kebal keduanya hanya terdiam menatap sejurus ke depan.

“Sekarang kita harus gimana Lis?” tanya Bona pasrah.

“Alisha juga gak tau, Bang.”

Bona menoleh pada Alisha, “Prediksi dokter tentang Rania bakal lumpuh kalau bisa bisa salahkan? Ya kan? Enggak selamanya semua prediksi kita bener kan?”

“Kita hanya seorang dokter, Bang. Tugas kita menolong pasien dan menyembuhkan mereka. Kita bukan Tuhan yang menentukan takdir manusia. Sebaik dan seyakinnya kita dengan hasil dan usaha medis tapi masih ada yang lebih besar lagi, Bang. Masih ada usaha langit.”

Keduanya kembali terdiam tanpa suara. Alisha membuka suara lagi, “Mbak Zoya tadi dimarahin sama Professor Ali. Sekarang bahkan salah satu dari kita enggak boleh jenguk Rania lagi. Alisha denger dari perawat ICU katanya ... Rania bakal dipindahin ke Jerman.”

“Hah?! Serius?!”

Alisha mengangguk pasrah, “Ada rekan Professor Ali di Jerman bagian fisioterapi dan syaraf. Tapi, Rania sampe sekarang belum sadar. Mereka gak bisa bawa Rania dalam kondisi kayak gini, Bang. Ada kemungkinan kita gak bisa ketemu Rania lagi, Bang. Tapi untuk kesembuhan Rania kita enggak bisa lakuin apapun selain setuju dengan pilihan Professor Ali.”

“Ahhh, yah. Pasti Professor Ali mau yang terbaik pula untuk Rania.”

Bruk.

Suara itu menginterupsi keduanya. Sontak mereka menoleh ke belakang dan betapa terkejutnya mereka dengan apa yang mereka lihat.

“M-mbak Zoya....” panggil Alisha terbata. Wajah Bona jadi pucat pasif.

“A-apa yang kalian bicarakan?”

Zoya mematung di tempat. Anak rambutnya tersapu angin melambai-lambai. Ia yang tadinya berniat mencari angin segar namun malah menemukan pembicaraan yang menusuk pisau ke jantungnya.

“Apa yang kalian bicarakan!!!” Mata Zoya berlinang-linang. Jika tak menginjak botol kaleng di depannya mungkin Zoya akan mendengar lebih jauh lagi tentang Rania. Semuanya ini membuat Zoya tak sanggup bernapas.

“Ehm, Zoya tunggu. Ini—“

“Aku enggak ngerti ini semua! Apa yang barusakan kudengar hah?”
Bona mendekat pada Zoya, “Rania bakal dibawa ke Jerman.”

ZoyaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang