14. Arah

7.5K 1K 103
                                    

بِسْــــــــــــــــــمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرّ َحِيم

Happy Reading!

•••

Aku berdiri bersandar di pintu mobil Bona yang sudah kehilangan energi sejak tadi. Beberapa kali aku menendang ban mobil itu kesal karna tak mau diajak kompromi. Kupikir ini akan menjadi hari yang menyenangkan tapi apa? Dasar mobil jelek! Sama seperti yang punya!

“Dokter Bona gimana sih, masak bisa mogok?” tanya Rania ikut kesal pula. Aku melirik malas Bona yang sedang menggaruk tenguknya. “Hiya, bercakap pulak kau macam itu. Kalau tau ini bakal mogok pasti aku tak akan bawa mobil ini!” jawab Bona bernada jengkel.

Entah apa yang mereka lakukan bahkan sampai 30 menit kuda besi itu masih saja tak bisa dihidupkan. Apa aku harus mengancamnya dengan pisau bedahku? Ah, suntik saja dia biar tahu rasa! Tunggu, ini gila. Aku dokter bukan montir. Kurasa semakin sering aku bergaul dengan Bona aku jadi ikut ketularan begonya dia.

Alisha sejak tadi sudah menelpon bengkel namun mereka bilang sudah diperjalanan. Dijalan mana sih? Kurasa banyak sekali jalan di kota ini. Si bocah gendut ini pun tak tahu apa-apa tentang mobil mungkin dia hanya hafal bagian tubuh manusia saja.
Tintin!

Bunyi klakson keras yang berasal dari mobil hitam ternyata bersumber dari belakang kami. Tampak mobil itu berhenti tepat di depan mobil Bona. Sontak kami berempat terfokus pada mobil itu. Siapakah dia?

Cuaca siang begitu terik sampai saat seorang pria turun dengan jaket hitam dan kacamata hitam yang bertengker di hidungnya. Sekilas aku tak mengenalnya, cahaya matahari cukup menyilaukan mataku. Bahkan aku menyipitkan mataku untuk dapat melihat dengan jelas.

Dia berjalan kearah kami namun aku masih belum mengenalinya. Sampai perlahan aku mati rasa berdiri di tempat tak bergerak sama sekali. Dia menyunggikan senyumnya padaku. Aku tahu dia siapa sekarang.

Bocah berandal itu!

Haikal!

“Haii...” sapanya pada kami berempat. Dia melambaikan tangannya memandangi kami satu persatu. Dan satu hal yang dapat kupastikan bahwa ia menatapku cukup lama berbeda dengan durasinya menatap yang lain. Aish, dasar bocah tengik!

“Wah mafia!” celetuk Rania tanpa sadar. Sedetik kemudian dia langsung membungkam mulutnya. Yah, coba lihat penampilan bocah ini. Dia memakai jas kulit hitam lengkap dengan kacamata hitamnya itu. Apa warna hitam itu warna favoritnya? Dia selalu memakai pakaian hitam. Kupikir dia pergi melayat tiap hari.

“Ada yang bisa saya bantu, Nona Manis?” tanyanya.

Hwek!

Aku sangat membenci caranya berbicara itu. Alisha menceritakan semuanya pada Haikal. Oh tidak, kumohon semoga ia tidak menolong kami. Aku tak ingin terlalu lama berada di dekatnya. Karna ada hal yang lain yang kurasakan dalam diriku ini.

“Oh ya? Kebetulan gue juga mau ke puncak. Gue ada beberapa urusan di sana.” sahutnya sambil sesekali tersenyum tipis ke arahku. Aku menghentak kakiku geram. Aku tak ingin berpergi bersamanya!

“Wah, rezeki Zoya nih kita dapet tumpangan sama tuyul satu ini.” celetuk Bona sambil menepuk-nepuk punggung Haikal dengan keras tanpa dosa. Haikal pun menolak dengan kasar. Dan Alisha hanya mampu tertawa melihat tingkah mereka. Kupikir lebih bagus jika Bona menepuknya dengan sangat kuat.

“Emang kamu ada urusan apa di sana?” tanya Alisha saat kami sedang memindahkan barang-barang dari mobil Bona ke mobil Haikal. “Gue mau ambil sayuran dari kebon gue yang ada di puncak. Kebetulan stok di restoran gue udah pada habis. Sekalian gue ketemu sama seseorang di sana.” jawab Haikal.

ZoyaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang