18. Akhir?

7.4K 942 62
                                    

بِسْــــــــــــــــــمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرّ َحِيم

Happy Reading!

Aku tak tahu harus berbuat apa. Seluruh saraf dalam otakku mendadak tak berfungsi. Ini semua karnaku. Ini adalah salahku. Andai saja aku tak bersikap acuh tak acuh pada Rania ini semua tak akan pernah terjadi. Rania tak akan pergi menemuiku. Ia tak akan pernah mengendarai sepeda di jalan jika bukan karnaku. Ia juga tak akan pernah mengalami hal ini juga bukan karnaku. Aku adalah penyebab semua ini.

Aku adalah kematian bagi orang sekitarku. Pertama Bunda, lalu Pak Wahab dan sekarang Rania. Kupikir bahwa diriku ini adalah makhluk yang tak seharusnya lahir di bumi. Aku hanyalah sebuah kesalahan yang turun di bumi.

Aku adalah si tangan kematian.
Hatiku benar-benar remuk tak bersisa. Tak ada tempatku untuk bersandar dan mengeluh tentang semuanya. Kuhanya mampu diam dan berbisik pada kesepian. Aku benar-benar bodoh. Zoya yang malang.

Aku memandangi wajah Rania yang setengah sadar di dalam ambulan. Rasanya begitu menyakitkan. Aku seperti melihat Bunda disaat-saat terakhirnya. Mendadak gemuruh dalam hatiku saling bersaut-saut. Tanganku bergetar dengan air mata yang jatuh berderai. Wajah teduh dengan senyum manis Rania yang biasa menyapa tiap pagi menghantuiku.

Bagaimana jika Rania benar-benar lumpuh karnaku?

Atau bagaimana jika Rania benar-benar tak terselamatkan?

Beribuan spekulasi mengerihkan muncul dibenakku. Ini gila. Aku penyebab semuanya. Zoya yang bodoh membiarkan ini terjadi. Tuhan tak adil. Ia tak pernah adil padaku. Ia ambil Bunda, lalu Pak Wahab dan kini ia buat sekarat Rania. Rasa benci pada-Nya kian memuncak. Padahal entah apa yang merasukiku sampai aku menyalahkan ini semua karna-Nya.

Berkali-kali tubuh Rania tak stabil selama diperjalanan menuju Central Medica. Sampai akhirnya Rania berhasil dilarikan ke IGD rumah sakit kami dengan cepat. Ia langsung mendapatkan penanganan yang utama karna ia merupakan kerabat dari Central Medica pula. Aku dan Bona langsung mengkontak Dokter Jailani untuk mengoperasi Rania. Kali ini, akanku lakukan segalanya untuk Rania.

“Baiklah, kita harus cepat. Kalian ingin masuk juga?” tawar Dokter Jailani pada aku dan Bona. Aku terdiam begitu juga dengan Bona.

Kupikir kami tak akan sanggup melihat Rania dioperasi di depan mata kami. Hal yang paling kutakutkan adalah aku tak mampu mengkontrol diriku saat terjadi hal buruk selama kami ikut mengoperasinya.

Aku tak akan sanggup ... sungguh.

Aku berdiri di depan pintu operasi dengan was-was memperhatikan mereka mengoperasi Rania. Bertahun-tahun aku kuliah kedokteraan miris rasanya saat aku hanya mampu mematung menyaksikan sahabatku kritis di depan wajahku. Aku benar-benar tak akan mampu memaafkan diriku sendiri jika aku tak mampu menyelamatkan Rania.

“Mbak Zoya...” panggil Alisha yang baru datang bersama Haikal.

Ia menatapku dan langsung memelukku erat tanpa banyak bicara. Dan lagi-lagi aku tak mampu menahan tangisku dalam dekapannya. Kepalaku terasa berat dengan semua peristiwa ini. Sedetik dalam hidupku dapat berubah dratis begitu saja. Baru saja aku tersenyum bahagia dan dengan sekejap tawaku berubah menjadi tangis.

“Ini karnaku ... aku bersalah. Rania, dia ... aku penyebabnya.” kataku di sela tangisku.

“Rania akan baik-baik saja, Mbak. Rania kuat. Dia pasti bisa melaluinya.”

“Tapi—“

“Sttt ... Mbak ingetkan kalau Rania itu wanita yang luar biasa. Dia pekerja keras. Hal ini tak akan melemahkannya. Rania wanita yang paling kuat yang pernah kutemui, Mbak. Dia pasti baik-baik saja.” hibur Alisha.

ZoyaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang