24. Believe You

2.3K 266 39
                                    

بِسْــــــــــــــــــمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرّ َحِيم

Happy Reading

•••

Aku mengigit bibir bawahku erat. Entahlah, ada gemuruh di dadaku yang luar biasa. Berulang kali aku menarik napas panjang berusaha tenang. Ini rasanya seperti pertama kalinya aku mengikuti ujian kedokteraan. Benar-benar gugup. Dan di sinilah aku, di depan rumah Allah yang disebut mesjid. Hatiku hampa, benar-benar terasa kosong.

“Mbak Zoya...” bisik Alisha.

Langkahku masih ragu untuk masuk. Aliran jutaan volt menyerbuku secara mendadak. Alisha sudah berada di sampingku bersama Haikal dan Bona. Aku menatap mereka satu persatu. Mereka ngajakku salat malam ini. Maaf, aku ralat. Bukan mereka yang mengajak tapi aku. Aku ingin salat.

Beberapa saat yang lalu.

“Ayahku membunuh Bundaku.”

Wajah Haikal tanpa penuh begitu terkejut sampai matanya tak berkedip sama sekali. Dia melempar pandangan ke arah lainnya menetralisir semua pertanyaan yang ingin dia ajukan padaku.

“Malem kita adalah awal semuanya berantakan. Ayahku pulang dengan mabuk-mabukkan. Dia marah dengan Bundaku dan aku melihat mereka terus bersikeras menceritakan hal yang tak kutahu. Sampai ... Ayahku. A-ayah, pergi ke dapur. Semua terjadi sangat cepat. Barang-barang pecah. Bunda ... Bunda ikut ke dapur. Dan A-ayah ... ayahku—“

“Jangan diterusin!” Dia marah padaku.

“Saya yang pingin ceritain.”

Haikal berdiri dan berdecak pinggang, “Itu sulit. Lo masih sakit. Jangan bicarain dulu.”

Aku tak sanggup dan air mataku jatuh, “Saya gak bisa selamatin Bunda. Tubuhnya penuh darah. Bunda ... meninggal. Saya mencabut pisaunya.” Isakku tak tertahankan dan dadaku begitu sesak. Haikal hanya mampu berdiri di depanku. Aku menumpahkan semua keluh kesahku hari ini. Tanganku mulai gemetar hebat dan air mata jatuh banjir saat ini.

“Bun-bunda ... saya gagal nolong Bunda.”

Haikal bersimpuh di depanku, “Zoya, itu bukan salah lo.”

Untuk pertama kalinya ia memanggilku dengan namaku. Dia tersenyum dan mengeluarkan sapu tangannya untukku. Aku tak sanggup dan tangisku pecah lagi tanpa sanggup kutahan.

“Mari ikut sama gue. Kita mulai semua dari awal. Kita masih bisa perbaiki semuanya. Selalu ada jalan buat kembali. Ini saat kita kembali pada-Nya. Semua akan baik-baik saja. gue di sini.”

Dan karena ucapan Haikal di sinilah aku berada.

Aku menatap Haikal sekali dan ia pun mengedipkan matanya menyakinkanku. Seolah dia berkata padaku aku bisa dan semua akan baik-baik saja. Alisha menyusap bahunya dan tersenyum padaku.
Haikal meminta Alisha menemaniku.

“Ayo Mbak...” seru Alisha mengandeng tanganku masuk menuju tempat wudhu. Kakiku melangkah bersamaan dengan air mataku yang jatuh. Aku menarik napas dalam.

Saat suaru deru air meluncur jatuh aku menatap gamang. Tubuhku masih tak sinkron dengan hatiku. Aku tak mengerti harus bagaimana. Zoya, kendalikan diri. Aku tertunduk tak tahu harus apa. Aku, lupa cara berwudhu.

Alisha melirikku dengan ekor matanya, “Ikuti Alisha, Mbak.” pintanya lembut sampai aku merasakan keteduhan dari suaranya.

Mataku memonitor pergerakkan motorik Alisha. Dengan perlahan kuusapu kedua tanganku dengan air terasa begitu dingin sampai linunya menusuk tulangku. Namun anehnya, saat aku mengusap wajahku aku merasakan sebuah ketenangan. Terus kuikuti setiap pergerakkan Alisha dengan pasti sampai aku membasuh kedua kakiku. Basah, semua titik air wudhu yang menyentuhku terasa menyegarkan.

Alisha menyuruhku mengikuti bacaan doanya. Entah apa yang aku ucapkan aku tak tahu. Aku lupa. Ternyata aku memang sungguh-sungguh melupakannya sampai aku benar-benar tak ingat sama sekali sekarang.

Kami melangkah masuk ke dalam rumah Allah. Aku berhenti sejenak di depan pintu masuk. Terasa seperti angin hangat menyambutku dengan ramah air mataku jatuh tanpa sadar. Hatiku terhenyuh entah mengapa. Entah darimana rasa kerinduaan berkobar dihatiku. Aku merasa ingin dekat tapi ada penghalang yang membatasi. Mungkinkah aku merindukan-Mu?

Pikiranku berkecambuk aku ingin melangkah masuk tapi ada keraguaan. Bunda, bimbing Zoya. Kupejamkan mataku sambil meningkat semua kenanganku bersama Bunda. Aku mengingat semua bercak memori Bunda mengajariku tentang Islam. Aku mengingat semua senyum Rania dalam setiap alunan melodi kenangan kami. Aku juga meningat betapa bencinya aku pada Allah.

Haikal dan Bona berdiri di depan. Haikal memposisikan diri memimpin salat. Alisha memasangkan mukenah padaku. Oh iya, infusku sudah habis dan aku meminta Alisha memasangnya nanti lagi selesai salat. Alisha merapikan rambutku yang tampak keluar.

“Cantik.” ucap Alisha.

Aku tersenyum dan Alisha mengenggam tanganku. Aku memejamkan mataku sejenak sebelum memulai salat. Haikal dan Bona melirik kami, padaku, seolah bertanya sudah aku siap? Aku mengangguk.

“Salat tak boleh ditundakan?” kataku sambil menyunggikan senyum.

Haikal mengangguk tapi Bona tampak sangat terkejut dengan kejadian ini. Entahlah dia datang darimana. Tapi, aku bersyukur mereka semua di sini. Alisha menuntutku dan memberitahuku semua.

Kami memulai salat dengan khimad sampai aku meneteskan air mata berulang kali. Dalam sujud aku menangis sambil punggungku bergetar. Ada rindu yang menggeroti sampai akhirnya kini terlepaskan. Aku melupa-Nya dan kini aku kembali.

Sampai akhirnya kami selesai salat. Kami mengadahkan kedua tangan berdoa dipimpin Haikal. Berbicara dengannya kini aku takjub dengannya. Ia punya kisah pilu yang sama denganku, dia pernah dan kami merasakan hal yang sama. Tapi, ia lebih tegar daripada aku.

Bacaan ayatnya begitu fasih sampai aku teringat Bundaku. Aku jadi rindu dengan bacaan ayat quran Bunda. Ia mengajariku aku mengaji setiap habis magrib. Bunda, aku rindu. Haikal, kamu membuatku merindukan semuanya.

Aku menangis sampai doa selesai dan isakku bahkan terdengar begitu kasar. Tapi kata Alisha langsung memeluk erat. Air matanya ikut luruh hanyut padaku. Semua begitu haru sampai aku ingin berhenti menangis tapi tak bisa. Mungkin ini adalah waktunya aku melepaskan semuanya. Ini waktunya aku kembali ke jalan-Nya.

Maukah Allah menerimaku kembali?
Maukah Ia menerima taubatku?
Tak marahkah Ia denganku?

Aku malu. Sangat malu. Aku membencinya selama bertahun-tahun tapi ia memberikan semua nikmatnya padaku. Udara yang terus kuhirup bahkan hidup sehat yang kurasakan. Aku dikelilingi sahabat-sahabat yang setia dan berada di sampingku selalu. Allah menjadikanku tangan penyalur rahmatnya. Dia berikan aku anugerah untuk dapat hidup sejauh ini namun aku malah ingin mengakhirinya dan mengingkari semua rahmatnya.
Ampunilah aku, Allah.

Aku berdosa atas segala dosa-dosaku.
Kali ini, aku tak punya harapan.
Aku tak punya lagi harga diri untuk menangkat daguku.
Dan aku tak punya lagi tempat selain tempat-Mu, Allah.
Untuk pertama kalinya, kulangkahkan kakiku dengan mantap.
Bissmilah.
Aku membangun lagi kepercayaanku pada-Mu.

Bersambung

•••

Ending?

ZoyaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang