ROBERT
Rasa sakit yang membuat kepalaku ingin meledak merupakan hal pertama yang membuatku bangun. Aku merasakan tubuhku menggigil karena telanjang. Aku melihat ke sekeliling, mencoba meresapi apa yang terjadi.
Dan aku melihat darah. Darah kering yang telah menyatu dengan kain sprei.
Aku bergeming, sempat tergelak pula. Ini pasti hanya mimpi. Atau lelucon murahan Teala. Aku mencoba berdiri walaupun kepalaku bisa saja meledak sewaktu-waktu. Kupungut celanaku dan kupakai, lalu keluar.
"Teala!" Aku berseru sambil menuang air banyak-banyak ke dalam gelas. "Baby, keluar dari persembunyianmu!"
Setelah minum empat gelas besar air, realita menghantamku. Teala tidak muncul. Kejadian semalam naik ke permukaan.
Teriakannya—isakannya tanpa air mata.
Aku berlari naik menuju kamar Teala, kosong. Aku mengintip mengecek mobilnya, hilang. Dengan frustasi, aku terduduk dan menarik rambutku. Ya Tuhan, aku bahkan masih bisa mencium aromanya di tubuhku.
Aku bahkan tidak bisa mengingat bagaimana rasanya semalam. Aku hanya... melakukannya. Begitu saja. Merenggutnya, menghancurkannya.
Aku kembali turun ke kamar tamu, bergeming melihat darahnya. Fakta baru menghantamku. Dia benar-benar mengikuti prinsipku dan Shabby.
Teala benar-benar masih menunggu untuk laki-laki spesial yang merenggutnya.
•••
Sialan.
Aku tidak pernah merasa selemah ini. Orang-orangku tidak bisa menemukan Teala di semua hotel di Los Angeles, bahkan mereka mencari di luar kota. Aku telah mengemudi berjam-jam berkeliling kota dan hasilnya nihil.
Demi Tuhan, Robert, Teala adalah putrimu!
Aku tidak berhenti berteriak kepada diriku sendiri.
Aku tidak pernah menangis. Terakhir kali aku menangis pada saat Shabby meninggalkan kami. Dan sekarang aku kembali menangis. Kuusap air mataku dengan kasar.
Aku pun telah berhenti minum sejak 15 tahun yang lalu. Di kala depresi menghantamku karena kepergian Shabby, dengan rela hati kubuang jauh-jauh pemikiran untuk mabuk hingga mati. Meskipun pada saat itu aku rela mati demi bertemu Shabby. Tapi aku tahu bahwa Teala membutuhkanku.
Kutebak sekarang dia tidak.
Kudengar ponselku berdering. Dari Gideon. Aku sengaja menyuruh Gideon—karyawan paling teladan—untuk membantuku karena dia berasal dari sini, dia tahu seluk beluk kota ini.
"Bicaralah," sahutku kasar.
"Maaf, Robert, aku menelepon bukan dengan kabar baik."
"Sialan." Umpatku pelan. Dari lima orang yang kuperintah mencari Teala, Gideon-lah yang belum melapor hingga saat ini. Dan sekarang harapanku pupus. "Apakah kau benar-benar sudah berusaha?"
Terdengar tarikan napas tajam Gideon. "Ya, sir. Perlukah kita melibatkan polisi?"
"Jangan dulu," sergahku panik. Aku tidak ingin polisi menemukan Teala dan mengintrogasinya. Bukannya aku egois karena tidak ingin Teala buka mulut. Tapi jika aku ditahan, aku tidak akan mendapat kesempatan untuk bicara dengannya.
"Well, kurasa hanya sampai di sini yang dapat kulakukan, Robert?"
"Ya." Kuakhiri sambungan telepon.
Kembali ke rumah, aku mendapati Transformers terparkir sembarangan. Oh, tidak. Teala tidak akan pergi lagi dariku.
"Teala!" Seruku, berlari masuk ke dalam.
Teala berdiri di dekat tangga, membeku melihatku. Apa pun yang hendak ia lakukan, sekarang ia berhenti dan menatapku dengan ekspresi ketakutan. Aku mengusap wajah, merasa frustasi bahwa aku yang membuatnya seperti ini.
"Teala," gumamku lembut sembari mendekatinya perlahan. Kulihat ia mundur selangkah. "Baby..."
"Jangan!" Teriaknya. Aku membeku di tempat. "Jangan pernah memanggilku seperti itu lagi!"
"Teala, dengakan aku—"
"Kau pikir kau bisa mengeluarkan kalimat-kalimat ajaibmu, dan mendapatkanku kembali? Kau pikir kau bisa dengan mudah meminta maaf disertai lelucon tololmu seperti biasanya?" Wajahnya memerah, tatapan matanya liar. Pelukanku yang biasanya dia cintai tidak akan menolong banyak untuk saat ini.
"Teala, aku minta maaf." Hanya kalimat itu yang berhasil keluar.
Kulihat dia mendengus mencemooh. "Aku pergi, Robert."
"Apa?" Aku berlari mengejarnya ke kamar. Dengan kasar ia menarik koper serta beberapa bajunya dari lemari. "Teala, apa yang kau lakukan?"
"Aku pergi! Kau tidak tuli, bukan?" Jeritnya.
"Ini rumahmu. Mengapa kau pergi?"
Dia tertawa histeris, air matanya mengucur. "Dari semua pertanyaan dan pernyataan yang bisa kau jelaskan di saat-saat terakhir seperti ini, kau memilih pertanyaan itu? Well, ya, Robert, aku pergi. Kau bisa ambil rumah ini, atau apa pun yang kau suka. Aku akan bekerja lembur setiap hari dan membeli—"
Aku menghambur memeluknya.
Ya Tuhan, tubuhnya dingin dan bergetar hebat. Aku tidak mengerti mengapa Teala membiarkanku memeluknya, menyentuhnya. Tapi yang jelas ia tidak membalas pelukanku. Aku hanya ingin menenangkannya.
"Di matamu, aku ini apa?" Bisiknya lemah. Suaranya penuh akan rasa sakit. Aku memeluknya semakin erat. "Biarkan aku pergi. Aku tidak punya tenaga untuk membunuhmu."
Aku bersumpah akan tertawa di situasi normal. Tapi yang kulakukan hanya memeluknya semakin erat sebelum mengatakan, "Aku yang akan pergi."
KAMU SEDANG MEMBACA
Holy Sin
Fanfiction[BAHASA INDONESIA] - [ROBERT DOWNEY JR.] • Dalam kedekatan seorang ayah dan putrinya, kita tidak pernah tahu apa yang akan terjadi. Teala, seorang wanita muda menarik, masih menyimpan nasihat kedua orangtuanya untuk tidak memberikan...