ROBERT
Aku keluar dari lift dan berlari menuju ke Ruang Proyek. Di sana telah berkumpul pihak keamanan komputer beserta beberapa karyawan terpercayaku. Tidak kusangka akan terjadi pembobolan besar-besaran seperti ini.
Aku tidak berlebihan saat mengatakan pembobolan besar-besaran. Memang benar. Semua data yang ada di Komputer 415 merupakan bahan untuk proyek D-25 yang rencananya akan rampung saat Hari Natal.
Aku mengumpat keras-keras dalam hati sambil mengeluarkan seluruh kemampuanku untuk mengutak-atik komputer tersebut. Tidak ada yang berubah. Tidak ada yang dapat kulakukan. Aku membenamkan wajah ke tangan, merasakan amarah yang belum pernah kurasakan sebelumnya.
"Robert," bisik Gideon sambil menyentuh pundakku. Aku menepis tangannya dengan kasar.
"Lihatlah apa yang terjadi!" Raungku. Semua yang ada di Ruang Proyek melompat terkejut. "Aku tidak tahu harus menyalahkan siapa—apakah keteledoran kalian atau alarm sialan kita yang tidak berfungsi! Dan bagaimana bisa, dari begitu banyak karyawan, tidak ada yang berada di lantai ini—atau paling tidak, di dekat ruangan ini dan mencurigai sesuatu?! Aku tidak memberi upah untuk kebodohan kalian!"
Seorang mahasiswa magang yang paling cerdas—yang tidak kuingat namanya—mengacungkan tangannya takut-takut. Aku terlalu marah untuk merespon. Tapi ia tetap buka mulut.
"Si pencuri juga mematikan seluruh kamera pengintai, sir, tapi aku berhasil merekam jejaknya."
"Dan bagaimana kau melakukan itu, Josh?" Tanya Eleanor, salah satu asistenku.
Josh mengelurkan sesuatu dari kantung hoodie-nya—sebuah benda yang mirip dengan chipset namun berbentuk bundar dan sedikit lebih tebal. Lalu ia menempelkannya pada CPU dan kemudian muncullah suara-suara tanpa gambar.
"Hey, botak!" Kudengar suara berat seorang pria, lalu terjadi jeda beberapa detik sebelum akhirnya terdengar suara tembakan. Suasana kembali hening. Terdengar suara langkah kaki yang mendekat diikuti suara pintu dibuka lalu ditutup. Suaranya terdengar semakin jelas. Kemudian ada suara menderit kursi yang diduduki. Pasti pria itu yang mendudukinya. Dan selanjutnya terdengar ia sedang mengetik sesuatu. Hening untuk beberapa saat sebelum akhirnya terdengar langkah kaki lagi, pintu dibuka lalu ditutup, kemudian hening total.
Josh menarik kembali bendanya.
Aku memijat pelipisku, merasa amarah kembali menyelimuti. Aku tahu suara itu! Dia adalah Dane Dustin, rivalku sejak kuliah. Kami memiliki ambisi untuk membangun perusahaan teknologi sendiri, dan kami berhasil. Tapi bukan berarti kami menjalin kerjasama yang baik.
"Bisa kalian jelaskan semua itu?" Raungku lagi. "Bisa kalian jelaskan mengapa suasana di rekaman itu begitu hening? Ke mana kalian semua, keparat?!"
"Maaf, Robert," sela Gideon. "Sepertinya kejadian itu berlangsung tadi pagi-pagi sekali, atau bahkan dini hari. Aku mengecek Komputer 415 pada pukul 7 dan semuanya telah berantakan."
Aku mendengus kasar. Lalu fokusku tertambat kepada benda milik Josh.
"Hey, Josh," panggilku kasar. "Benda apa yang kau gunakan tadi?"
Ia mendekat malu-malu untuk menunjukkannya kepadaku. "Aku belum tahu akan memberinya nama apa. Benda itu kubuat dari dua minggu yang lalu, dan baru selesai kemarin malam. Aku tidak sengaja meninggalkannya di sini, tapi sepertinya tertinggal dengan keadaan aktif saat aku mengecek progres D-25. Benda itu bisa kita tempelkan di mana saja secara tersembunyi, dan akan merekam suara-suara dari jarak satu kilometer. Kemudian untuk mendengarkannya kita harus menempelkannya pada CPU, dan secara otomatis datanya akan tersimpan di komputer. Aku juga bisa menaikkan levelnya sehingga kita bisa mengakses rekaman dari ponsel, tidak perlu menempelkannya terlebih dahulu pada CPU."
Aku merasakan bibirku tertarik membentuk senyuman. Bisa kurasakan beberapa karyawan senior bersiul, termasuk Gideon yang memandang benda tersebut dengan kagum.
Aku berdiri, mencoba tersenyum tulus meskipun tidak mungkin, lalu menjabat tangan Josh. "Selamat, Josh. Kau kuterima menjadi karyawan tetap di sini. Setelah magangmu berakhir dan lulus kuliah, datanglah bekerja seperti biasanya."
Kutinggalkan Josh dengan mulut menganga lebar dan mata berbinar. Dalam keadaan normal aku akan sangat senang memuji Josh, namun ada yang harus kubereskan. Salah satunya Dane. Berani-beraninya dia!
Aku mengemudi kembali ke rumah. Tidak ada tanda-tanda keberadaan Teala, mungkin ia sedang berjalan-jalan. Aku naik menuju ruang kerja dan membuka seluruh folder dari tahun-tahun sebelumnya. Jika beruntung, aku akan menemukan folder perusahaan Dane yang sempat empat kali mendapat cap blacklist karena diketahui menipu beberapa badan usaha pemerintah. Perusahaannya juga terkenal buruk sering mencuri ide serta desain perusahaan lain.
Jika aku berhasil membawa folder tersebut ke pengacaraku, serta menunjukkan bukti rekaman jejaknya, kasus ini akan dibawa ke pengadilan—dan Dane akan mendapat cap blacklist kelima. Senyum tipis terukir pada bibirku. Perusahaannya akan ditutup total bila ia mencapai rekor lima kali masuk daftar blacklist. Aku sendiri heran bagaimana ia bisa membersihkan namanya dari daftar blacklist, dan bagaimana pemerintah sempat memercayainya lagi—dan tentu saja, mereka tertipu lagi.
Kembali mencari-cari, aku hanya menemukan bukti bahwa perusahaannya pernah dikenakan denda beberapa juta dolar karena kasus pencurian ide dan desain. Tapi selain itu, tidak ada yang bisa kutemukan.
Aku mengerang marah. Tanpa folder bukti blacklist tersebut, aku tidak tahu harus melakukan apa. Dane tidak bisa mencuri data D-25 dan kabur untuk mewujudkannya begitu saja. Aku tahu pemerintah pasti memiliki arsip kasus-kasus perusahaan Dane, tapi itu telah berlangsung lama sekali. Mereka tidak akan mau repot-repot mencari.
Tiba-tiba seseorang berdeham.
Aku melihat Teala sedang bersandar di pintu sambil minum sesuatu dari gelas kertas.
"Sejak kapan kau berada di sana?" Tanyaku, masih sibuk membuka-buka folder.
"Cukup lama. Kopi yang kuminum telah habis. Aku sampai di sini saat kopiku masih penuh."
Aku menatapnya sesaat sambil tersenyum. Kemudian aku bangkit dan berjalan ke arahnya, memeluk pinggangnya.
"Well, aku harus minta maaf karena tidak menyadarinya." Aku mencoba menciumnya namun ia menahan dadaku. "Kau marah?"
Ia mendengus pelan sebelum menjawab, "Apakah semuanya baik-baik saja?"
"Ya," jawabku tegang.
"Robert," panggilnya, dan aku kembali menatapnya. "Kau selalu merahasiakan sesuatu jika ada hubungannya dengan Downey Tech & Co."
Aku mengusap pipinya dengan satu jari, lalu mengecup bibirnya ringan. "Karena aku tidak ingin kau khawatir. Dalam berbisnis pasti ada kendala."
Ia memutar bola matanya. Aku menatapnya takjub. Tidak kusangka dapat memilikinya seperti ini. Aku memeluknya erat demi mendapat ketenangan. Bila kuingat, proyek D-25 merupakan ide paling brilian yang pernah hinggap di otakku. Aku tidak akan tahan melihatnya di pasaran dan bukan perusahaanku yang menciptakannya.
"Kau sedikit tegang, Robert." Kata Teala masih mencoba.
Aku menatap mata hijaunya yang bersorot tajam, kemudian berbisik, "Tentu saja aku tegang. Aku berada di dekatmu."
KAMU SEDANG MEMBACA
Holy Sin
Fanfiction[BAHASA INDONESIA] - [ROBERT DOWNEY JR.] • Dalam kedekatan seorang ayah dan putrinya, kita tidak pernah tahu apa yang akan terjadi. Teala, seorang wanita muda menarik, masih menyimpan nasihat kedua orangtuanya untuk tidak memberikan...