Holy Sin - #25

8.1K 306 19
                                    

TEALA

"—Teala, maukah kau menjadi istriku?"

Pandanganku buram. Air mata serasa akan tumpah. Seluruh tatapan tertuju kepada kami. Dan aku tidak bisa bernapas.

Robert tersenyum begitu tulus dan itu membuat hatiku serasa diremas karena rasa sayang. Aku mencintainya tanpa syarat—dan aku baru menyadarinya sekarang.

Setelah kuanggukkan kepala, dapat kulihat sebutir air mata kebahagiaan meluncur dari mata Robert. Ia menyelipkan sebuah cincin berlian sederhana nan cantik ke dalam jari manisku, dan kudengar semua orang bertepuk tangan. Robert bangkit dan mengangkatku untuk menciumku.

Ciumannya sangat lembut dan seakan penuh cinta. Aku tersenyum di sela-sela air mataku. Mata cokelat terangnya menatapku tajam, tangannya mengusap lembut pipiku. Aku tidak pernah merasa sebahagia ini.

Seorang pelayan datang untuk mengantar pesanan kami. Ia tersenyum lebar sambil berkata, "Gratis untuk pasangan yang sedang berbahagia."

Aku tertawa senang dan sadar bahwa di situasi normal Robert akan merasa tersinggung mengingat ia tidak suka ketika seseorang memberinya sesuatu secara gratis. Namun kali ini ia hanya tersenyum dan fokus kepadaku.

Aku mencium Robert sekali lagi. Tuhan. Bagaimana aku bisa dilahirkan untuk mendapatkan kebahagiaan ini?

•••

Hari ini merupakan hari ketika Robert melamarku—tepatnya satu minggu yang lalu. Mengingat aku tidak memiliki begitu banyak deadline, aku sedang mengkhayal tentang pernikahan kami. Kami sama-sama menginginkan pernikahan yang sederhana dan tidak terlalu ramai oleh tamu, oleh sebab itu kami hanya akan mengundang beberapa orang terdekat.

Khayalanku harus terputus ketika Gabriel datang.

"Janji pukul sebelasmu sudah menunggu," katanya. Janji pukul sebelasku adalah Preston. Aku memang berniat untuk memberitahunya perihal hubunganku dengan Robert. Semua orang, termasuk Gabriel dan Emerald, telah mengetahuinya. Sekarang saatnya Preston tahu.

Aku sampai di lobi dan melihat Preston telah duduk di salah satu sofa sambil membaca koran. Ketika ia melihatku, senyumnya merekah. Ia bangkit lalu memelukku erat.

"Kau benar-benar tidak bisa dihubungi," katanya bercanda. Aku hanya tersenyum simpul.

"Well, aku harus memberitahumu sesuatu." Ia hanya menatapku, menunggu. "Tapi sebelumnya, aku harus tahu sesuatu."

"Yeah?"

"Apakah kau memiliki perasaan khusus terhadapku?" Celetukku. Bisa kurasakan pipiku memanas, dan mata Preston melebar karena terkejut. Tapi aku tidak peduli. Ini harus berhasil.

Setelah jeda yang panjang, bibir Preston membentuk senyum manis. Ia menatapku dalam-dalam.

"Teala, maafkan aku jika aku membuat kesan yang salah," ia diam sejenak. "Tapi aku tidak seperti itu."

Sekarang aku mengerutkan kening. "Tidak seperti apa?"

"Well, aku penyuka sesama jenis."

Aku diam terpaku. Rasanya seperti ada yang menyiram tubuhku dengan seember penuh es. Kelegaan yang nyata merayapaiku. Bisa kulihat Preston berusaha sebaik mungkin menunjukkan penyesalannya, namun bibirku perlahan membentuk senyuman lebar.

"Teala, kau baik-baik saja?"

Aku menyemburkan tawa yang begitu keras sehingga kupikir paru-paruku akan meledak. Preston menatapku aneh. Aku berusaha mati-matian untuk berhenti tertawa karena tidak ingin Preston menganggapku merendahkannya.

Aku mengusap mataku yang berair, kemudian, "Maafkan aku. Sungguh tidak ada maksud untuk menyinggungmu. Perlu kau tahu bahwa aku sangat menerima kaum penyuka sesama jenis."

Preston menatapku lega. Namun ekspresinya berubah kebingungan lagi. "Dan mengapa kau tertawa?"

"Aku harus memberitahumu sesuatu, Preston. Ini merupakah rahasia terbesar yang pernah kumiliki, dan sekarang teman-teman terdekatku telah mengetahuinya. Well, kau selalu ada untukku, jadi kupikir kau harus tahu." Preston tersenyum lembut, tangannya merayap untuk menyentuh tanganku. Aku menarik napas panjang, dan berkata, "Aku telah bertunangan."

Untuk sesaat terjadi keheningan yang panjang. Tatapan Preston masih berbinar lembut, hanya saja keningnya berkerut menandakan bahwa ia bingung. Aku kembali menarik napas panjang, dan menceritakan semuanya.

Di sela-sela aku bercerita, tidak jarang Preston memberiku ekspresi tidak setuju dengan apa yang kulakukan. Namun aku berusaha memberitahunya bahwa aku adalah wanita dewasa yang paham akan risiko dari setiap tindakan yang kuambil. Dan pada akhirnya, Preston tetap tersenyum lembut dan memelukku sebelum pergi meninggalkanku.

Aku merasakan sengatan kesedihan ketika duduk sendiri di sofa tanpanya. Ia begitu baik dan pengertian. Kupikir selama ini kami memiliki sesuatu, namun sepertinya itu hanya aku. Preston menganggapku tidak lebih dari seorang teman dekat. Well, paling tidak, sekarang aku tahu bahwa aku tidak menyakiti siapa pun. Dan Robert akan sangat malu telah bersikap kasar terhadapnya.

Pada pukul empat, Aventador milik Robert telah terparkir indah di pelataran lobi. Ia bersandar pada salah satu pintunya—tidak lupa memakai kacamata hitam yang telah menjadi ciri khasnya. Ia tersenyum ceria ketika mendapati aku berjalan ke arahnya.

Dalam satu ayunan ringan, ia mendekapku erat sambil mencium puncak kepalaku. Dia bergumam mengucapkan kata-kata manisnya yang sebenarnya tidak dapat kutangkap dengan jelas.

Lalu tiba-tiba ia melepaskan pelukannya.

Robert menatap mataku dalam-dalam. Mata cokelat terangnya selalu memancarkan kehangatan setiap kali menatap mata hijauku yang selalu terlihat dingin.

Kemudian ia berbisik lembut, "Kita akan bersenang-senang, baby."

Dan dengan itu ia membuka pintu penumpang untukku, dan membawaku pada kesenangan yang ia janjikan.

•••

HOLY FRIGGING COW!

IT'S OVER!

IT.IS.OVER!

I know this is such a terrible ending—very short, very hurry—but I'm happy that I could finish it. Without your supports, I wouldn't have any spirit to publish this story. So, THANK YOU! Xxx

Holy SinTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang