Holy Sin - #24

4.5K 278 14
                                    

SPECIAL CHAPTER 😂

•••

Teala mengurung dirinya di kamarku. Aku merasa sangat tidak enak. Mungkin aku terlalu berlebihan. Mungkin aku harus menerima kenyataan bahwa Teala adalah gadis yang menarik sehingga banyak lawan jenis yang menyukainya.

Tapi tidak bisa begitu.

Aku mengetuk pintu beberapa kali. Di saat aku hendak menyerah, Teala membukanya. Wajahnya terlihat lesu, namun ia masih memasang senyumannya.

"Maaf, Rob," ucapnya sambil berjalan menuju sofa. Aku menarik napas panjang dan menghampirinya, berlutut di depannya.

"Dengar, aku minta maaf jika aku terlalu berlebihan. Kau benar. Kau berhak berteman sengan siapa saja."

Teala menatapku sesaat, lalu tangannya berlari menyentuh pipiku. Ia tersenyum lembut.

"Jangan merasa bersalah."

"Well, aku merasa bersalah, dan aku akan memperbaikinya."

"Apa yang akan kau lakukan?"

Aku berjalan menuju konter dapur tempat kusembunyikan kotak berisi gaun untuknya. Itulah barang yang kuambil dari Cara. Sebuah gaun Givenchy hitam sederhana di atas lutut dengan potongan punggung rendah yang akan membuat penampilan Teala memukau. Aku juga menyiapkan sepatu yang serasi dengan gaun tersebut mengingat Teala tidak membawa seluruh barang-barangnya ke apartemenku.

"Pakai ini. Bersiaplah. Pukul 06.30 kita akan berangkat." Aku mengecup keningnya sebelum menyelinap ke dalam kamar mandi.

Aku menatap pantulanku pada cermin. Semuanya akan berakhir malam ini. Dan siapa yang tahu apakah akhirnya akan berujung baik atau buruk?

Mataku menangkap pakaian yang telah kusiapkan. Semuanya terlihat formal dan spesial. Aku tidak bisa berhenti tersenyum walaupun senyumanku terlihat kaku karena panik.

Bagaimana reaksi Teala? Apa yang akan ia lakukan? Apa yang akan kulakukan? Semuanya begitu rumit sehingga aku tidak sadar bahwa aku mencengkeram pinggiran wastafel dengan erat. Menarik napas panjang, aku meluncur membasuh diri.

Pada beberapa saat kemudian, kami telah berada di dalam mobilku. Teala tampil memukau seperti yang telah kuduga—well, walaupun ia selalu tampil memukau dengan pakaian apa pun.

Aku mengemudi dalam diam. Ketegangan menggerogotiku. Teala sendiri tampak gugup. Aku mencengkeram roda kemudi erat-erat yang menyebabkan jari-jariku memutih.

"Robert," gumamnya lembut seraya meletakkan tangannya di atas tanganku. "Rileks. Apa yang kau pikirkan?"

Aku hanya menggeleng. Lalu kusadari bahwa sikapku begitu kasar. Ketika lampu lalu lintas berwarna merah, aku menghadap Teala. Kuraih tangannya, lalu kukecup jari-jari kurusnya. Ia menatap mataku intens.

"Kau baik-baik saja?" Tanyanya.

Aku mencoba tersenyum setulus mungkin. "Aku sangat baik-baik saja. Aku bersamamu."

"Kau terlihat gugup."

"Aku masih memikirkan hubunganmu dengan Preston," jawabku berbohong. Kulihat Teala menghela napas panjang.

"Aku sudah bilang—"

"Dan aku akan mencoba memercayaimu," selaku. Sekarang adalah waktu yang buruk untuk berdebat. Teala hanya mengangguk, dan aku kembali mengemudi.

Ketika sampai, kuserahkan kunciku kepada petugas valet. Teala tersenyum memukau saat menggandeng lenganku, dan kami melenggang masuk. Kami disambut oleh seorang pelayan ramah yang langsung menunjukkan jalan ke meja yang telah kupesan. Ia meninggalkan kami sebentar kemudian kembali dengan sebotol Brunello di Montalcino dan buku menu.

Untuk beberapa menit yang lama, kami hanya membaca buku menu. Terjadi ketegangan yang begitu kentara. Teala bukan tipe gadis yang mudah canggung, namun ia pasti merasa seperti itu mengingat sikapku yang begitu gugup.

"Aku ingin ricotta gnocchi. Terima kasih." Kudengar Teala berbicara. Aku mengisyaratkan kepada pelayan bahwa aku juga menginginkan itu, lalu ia pergi.

Kami hanya saling tatap untuk waktu yang lama. Kulihat bibir Teala berkedut, dan sesaat kemudian tawanya pecah. Ia tertawa ringan sambil sesekali menyesap wine-nya. Aku tersenyum ke arahnya dan ikut tertawa.

"Kau sangat tegang, Rob. Apa yang terjadi?" Tanyanya santai.

Aku meraih sebuah amplop kecil ke dalam kantung jasku, lalu menyerahkannya kepada Teala. Keningnya berkerut samar saat melihat nama yang tertera pada amplop tersebut.

"Surat ini dari lembaga adopsi anak? Kau pergi ke sana?" Nada dalam suaranya terdengar terkejut, namun matanya memancarkan kebahagiaan.

"Aku mengurus semuanya seminggu setelah kau pergi. Aku tidak tahan lagi, baby." Kulihat pipinya memerah setiap kali aku memanggilnya seperti itu. "Bukalah dan bacalah."

Teala meresapi setiap kalimat di dalam surat tersebut. Matanya berbinar tajam saat membacanya. Bisa kuketahui bahwa aku melakukan hal yang benar. Jika aku menginginkan hubungan ini berhasil, maka aku harus mengambil keputusan besar. Walaupun setelah ini Teala bukan lagi hakku. Dan aku tidak ingin sesuatu yang buruk terjadi kepada kami—yang menyebabkan ia pergi dariku.

Pandangannya beralih kepadaku. Matanya berkilau oleh kebahagiaan. Aku yakin jika kami tidak berada di tempat umum, ia akan melompat dan menciumku. Tapi yang dia lakukan hanya tersenyum selebar mungkin.

"Kita legal?" Bisiknya antusias.

"Well, bisa dibilang begitu."

Tanpa kuduga, Teala bangkit dari kursinya dan berjalan ke arahku untuk menciumku. Ciumannya merupakan ciuman hangat yang menunjukkan bahwa ia mencintaiku. Dan aku mencintainya.

Setelah ia kembali duduk, rasa cemas kembali merayapiku. Ini belum berakhir. Teala merasakan keteganganku sekali lagi dan menyentuh tanganku.

"Ada apa lagi, Rob? Kupikir kita akan bersenang-senang?"

"Kita memang akan bersenang-senang. Akan." Aku menekan kata terakhir dan mendapat tatapan heran dari Teala. "Teala, kau tahu bahwa aku sangat mencintaimu. Aku tidak pernah mengira bahwa rasa ini akan tumbuh ke arah yang berbeda. Kau tumbuh menjadi gadis dewasa yang menarik dan tangguh. Kau membuktikan bahwa kau bisa berdiri sendiri tanpa bantuanku. Bisa dibilang kau telah keluar dari bayang-bayangku."

Ia mendengus. "Keluar dari bayang-bayangmu? Well, tidak sepenuhnya. Setiap orang masih menyebut-nyebut dirimu ketika berkenalan denganku."

Aku tidak peduli dengan jawabannya, karena ini bukan waktu yang tepat untuk berdebat. Aku merogoh kantungku untuk mengambil sebuah kotak beludru, lalu bangkit dan berjalan ke tempat duduk Teala. Di sana aku berlutut di hadapannya. Bisa kurasakan tatapan semua orang, tapi aku tidak peduli. Teala menatapku intens seperti biasanya, hanya saja kali ini matanya melebar takjub.

"Teala, aku mencintaimu. Aku akan melakukan segalanya untukmu. Maafkan aku bahwa aku telah menyakitimu dengan cara yang seharusnya tak termaafkan—dan dengan kebaikanmu, kau memaafkanku. Apa yang telah kulakukan sehingga aku pantas mendapatkanmu?" Aku tergelak parau. Kudengar semua orang bergumam takjub. "Aku ingin kau selalu ada untukku, dan aku akan dengan senang hati selalu ada untukmu. Aku tidak ingin kau terpisah dariku lagi. Aku ingin kita menghabiskan waktu bersama. Aku ingin membangun sebuah hubungan baru yang terbuka bersamamu—hubungan yang semua orang tahu dan menerimanya. Teala, maukah kau menjadi istriku?"

Holy SinTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang