TEALA
"Ah, Robert," desahku untuk yang kesekian kalinya. Kali ini aku berada di atas Robert, dan sensasi yang kudapat begitu hebat.
"Kau menakjubkan," bisik Robert tepat di telingaku saat aku meletakkan kepala di dadanya. "Aku tidak akan pernah puas."
Aku tergelak lemah. "Jangan menggodaku lagi, Robert. Aku lelah."
"Tentu." Katanya seraya mengangkat tubuhku dan meletakannya di atas ranjang. "Percayalah, aku ingin berada di sini bersamamu. Tapi aku harus pergi."
Aku mengerang sebal. Sesaat setelah ia memakai pakaiannya lengkap, Robert menunduk dan menciumku lagi. Lalu pergi begitu saja.
Untuk sesaat aku hanya telentang menatap jendela. Ini sudah hampir jam makan siang dan aku tidak tahu harus melakukan apa. Menelepon Gideon pun tak ada gunanya karena dia pasti sibuk dengan apa pun yang terjadi di kantor Downey Tech & Co.
Aku bangun, sedikit merasa pusing dan sakit di sekujur tubuh. Ya Tuhan, aku tidak menyangka baru saja melakukannya dengan Robert. Lagi. Mungkin idenya untuk menghilangkan status adopsiku merupakan ide bagus.
Setelah beberapa saat hanya diam, aku pergi ke kamar mandi untuk membersihkan diri. Kemudian aku kembali ke kamar dan memungut pakaianku yang tergeletak di lantai, tidak lupa merapikan ranjang. Aku membuka kloset dan memilih sesuatu yang lain. Ketika hendak menyemprotkan parfum Robert pada leherku, aku sadar aromaku sedikit berubah menyerupainya. Aku tersenyum dalam hati.
Dering ponsel menginterupsiku.
"Halo?" Sapaku tanpa melihat siapa yang menelepon.
"Hey, Teala!" Suara riang Gabriel mengejutkanku.
"Gabriel! Astaga. Aku minta maaf tidak pernah menghubungimu." Balasku sambil masih memilih baju.
Kudengar Gabriel tergelak ringan. "Rupanya kau sudah bertemu kakakku. Bagaimana menurutmu?"
"Oh, well," aku berhenti sebentar untuk menarik blus putih yang sepertinya tidak pernah kupakai tapi entah mengapa kubawa. "Dia baik. Dia sempat menolongku dan membiarkanku menginap di rumahnya."
Kudengar Gabriel terkesiap. "Wow, Ms. Downey, kami para Potts selalu menolongmu, huh?"
Aku tergelak mendengarnya. "Percayalah, Gabriel, kalian luar biasa baik."
"Jadi, apa yang sedang kau lakukan?"
"Oh, Gab, kau harus tahu!" Aku tiba-tiba merasa ingin mengobrol dengan Gabriel seharian. "Aku tidak punya teman di sini. Tugasku sudah selesai dan aku tidak tahu harus berbuat apa."
"Kembalilah ke sini!" Serunya antusias. Aku memutar bola mata. Andai saja ia tahu mengenai hubunganku dengan Robert.
"Omong-omong, aku harus pergi untuk makan siang. Bagaimana denganmu?" Gabriel berdeham pelan, kemudian kudengar suara langkah kaki. "Gab, apakah kau sedang berjalan?"
"Aku tidak enak memberitahumu karena ada banyak orang di sekitarku." Aku menunggu, sedikit tegang. "Aku berkencan dengan Emerald."
Mulutku menganga, kupegang ponselku erat-erat. Keinginan untuk menjerit menguasaiku. Tapi aku tahu aku tidak bisa asal menjerit begitu saja.
"Kau bercanda!" Desisku antusias. "Jangan bermain-main denganku, Gab!"
"Well, aku tidak akan bercanda tentang bos kita!" Katanya defensif.
"Ya Tuhan! Sejak kapan?"
"Uhm... dua hari yang lalu?" Katanya malu-malu.
Aku tidak dapat menahan senyum. "Apakah kau sudah... well, kau tahu—?"
"Oh, Teala! Ada apa dengan pikiranmu?" Gabriel mengeluarkan suara seolah jijik denganku. "Kami hanya makan malam, oke? Dan mungkin sedikit mabuk karena wine. Tapi hanya sampai di situ. Aku bahkan hanya mengecup pipinya."
"Oh, Gabriel, kau berada dalam masalah besar, kawan." Kataku dramatis. "Aku yakin Emerald mengharapkan bibirmu menempel pada bibirnya."
"Astaga! Apakah Mr. Downey tidak menjagamu dengan baik? Apakah Gideon merasuki otakmu?"
Aku tertawa mendengar pertanyaannya. Oh, andai dia tahu tentangku dan Robert.
"Aku harus pergi. Sampai jumpa, Gab!"
"Sampai jumpa, Teala!"
Setelah memilih dan memakai pakaianku, aku memoleskan sedikit riasan wajah kemudian pergi. Aku berjalan-jalan di sekitar 5th Avenue untuk melihat apa yang bisa kulakukan di sini selain belanja. Tapi nyatanya tidak ada. Di sekitarku semuanya pertokoan. Rasanya tidak normal jika aku menolak mereka semua.
Jadi, selama beberapa jam yang tidak begitu terasa, kudapati lenganku penuh dengan tas belanja. Semuanya ada sekitar 10 tas belanja besar.
Aku sedang menunggu taksi di trotoar ketika seseorang menabrakku. Oh, sialan. Ini selalu terjadi padaku ketika di New York.
"Aku sedang kesusahan, idiot!" Semburku, tidak peduli dengan tatapan semua orang.
Rupanya yang menabrakku adalah seorang pria. Saat ia berbalik badan, dapat kuprediksi bahwa ia berusia sama dengan Robert. Mungkin lebih tua satu atau dua tahun. Dan sebenarnya wajahnya lumayan juga. Dengan rambut cokelat terang, rahang persegi, serta mata kuning keemasan. Oh, ya, matanya. Begitu terang sehingga kupikir ia memakai lensa kontak.
"Apakah matamu asli?" Aku tidak percaya baru saja bertanya seperti itu! Kulihat ia tertawa.
"Ya, miss, mereka asli. Kau sedang kesusahan, rupanya?"
Aku sudah lupa sempat memarahinya. Well, tentu saja aku masih marah. Ia menabrakku dan menyebabkan beberapa kantung belanjaku jatuh.
"Perlu kuingatkan sebaiknya kau berhati-hati saat berjalan. Di sini terlalu banyak orang. Kau tidak ingin menabrak mereka semua." Mencoba seanggun mungkin aku berjalan melewatinya. Kurasakan ia menahan lenganku.
"Mungkin aku bisa minta maaf dengan mentraktirmu makan siang?" Matanya menatapku intens. Bisa kurasakan sekujur tubuhku merinding akibat tatapannya.
Aku hanya mengangguk sebagai jawaban.
Kami masuk ke tempat bernama Cafe S.F.A di dekat Saks. Kupikir ia akan mengajakku ke sebuah tempat mewah untuk pamer atau apa pun itu—percayalah, dari segi penampilan ia terlihat seperti tukang pamer.
Setelah memesan makanan, ia kembali fokus denganku. Jujur saja aku tidak begitu peduli dengan namanya. Toh, kecil kemungkinan kami akan bertemu lagi.
"Sepertinya kau terlihat familiar," ia memulai. Aku tersenyum setengah hati. Aku benci harus mengatakan ini, tapi menjadi anak seorang Robert Downey Jr. membuatku sedikit terkenal. Contohnya saat aku berada di Fendi tadi, salah satu staf mengenaliku.
"Well, kau tidak harus mentraktirku jika berhasil menebak."
Matanya berbinar senang. "Oh, jadi kau semacam orang terkenal?"
"30%, ya." Aku tergelak mendengar jawabanku sendiri. "Oh, siapa yang peduli! Aku hanya bercanda."
"Tidak. Kau tidak bercanda." Katanya serius. Ia menatapku penuh arti. Aku sedikit paranoid dan mulai berpikir bahwa pria ini semacam penjahat wanita atau apa. Mungkin ia tahu siapa aku dan ingin memeras Robert!
Rasa panik menjalariku.
Namun tawanya tiba-tiba terdengar. Ia tertawa keras sekali sehingga aku ikut bergabung. Oh, tentu saja. Tadi aku terlihat bodoh.
"Kau harus lihat wajahmu sendiri. Begitu pucat!" Serunya di sela-sela tawa. Pipiku memanas. "Coba katakan, apa yang kau pikirkan?"
"Uhm, well, bahwa kau adalah penjahat wanita? Mungkin kau akan menculikku dan memeras ayahku?"
Rasanya aneh menyebut Robert sebagai ayahku setelah semua yang kami lakukan.
"Well, well, dapat kusimpulkan ayahmu merupakan pria berkecukupan, huh? Kau begitu takut."
"Boleh kutahu namamu?" Tiba-tiba diriku bertanya. Pria di hadapanku ini tersenyum singkat.
"Kita sebut nama kita bersama-sama, oke?" Aku mengangguk. "Dalam hitungan tiga, dua, satu... Dane Dustin."
"Teala Downey."
KAMU SEDANG MEMBACA
Holy Sin
Fanfiction[BAHASA INDONESIA] - [ROBERT DOWNEY JR.] • Dalam kedekatan seorang ayah dan putrinya, kita tidak pernah tahu apa yang akan terjadi. Teala, seorang wanita muda menarik, masih menyimpan nasihat kedua orangtuanya untuk tidak memberikan...