Holy Sin - #11

7.7K 424 26
                                    

New York sedang diguyur hujan. Aku suka musim dingin. Aku suka salju. Aku suka hujan. Musim semi mungkin tidak sepanas musim panas, tapi bukan berarti aku menikmatinya. Dan mengetahui bahwa hujan turun di musim semi seperti sekarang ini, aku tersenyum ceria.

"Belum lelah memandang hujan?" Aku tersenyum mendengar pertanyaan Gideon. Ia menghampiriku yang duduk di tepi jendela, menyerahkan semangkuk mi instan. Awalnya kami sedang berjalan dan mengobrol hingga kemudian hujan menangkap basah. Lalu ia menawarkan apartemennya sebagai tempat berteduh. "Boleh kulihat lagi hasil foto kita tadi?"

Aku menunjuk ke arah kameraku yang tergeletak di sofa, membiarkan Gideon mengambilnya.

"Kau sangat berbakat, Teala. Persis seperti Robert."

Garpu yang hendak melayang ke mulutku terhenti. Memikirkan Robert bukan hal yang mudah bagiku untuk saat ini.

"Hey, aku suka ini!" Seru Gideon, menunjukkan seorang gadis yang sedang menaungi kepalanya menggunakan buku saat rintikan hujan mulai turun. "Sayang sekali kau tidak mendapat kesempatan untuk mewawancarainya. Tanpa detail apa yang ia kenakan, kau tidak bisa memuatnya di majalah, bukan?"

"Bosku akan memikirkan sesuatu," jawabku seadanya.

"Sejak kapan kau mengenal adikku?" Tanya Gideon tiba-tiba, matanya masih belum meninggalkan layar kamera.

"Baru beberapa hari. Aku tidak begitu menyadari kami bekerja di satu tempat yang sama. Dia yang menyapaku terlebih dahulu."

"Ah," responnya singkat. "Kau tahu, dia tidak mudah bergaul. Punya sedikit trauma."

"Trauma?" Gideon mengangguk samar. "Mungkin kau ingin menceritakannya?"

"Tunangannya terbunuh." Jawab Gideon blak-blakan. Aku menumpahkan sedikit kuah dan Gideon tergelak karenanya. "Aku serius. Sempat kupikir dia berubah jadi penyuka sesama jenis. Well, bukan berarti aku punya masalah dengan itu. Hanya saja Gabriel merupakan sosok yang kuat dan mudah bergaul. Tapi tidak lagi."

Aku mengangguk mengerti. "Jadi, dia langsung berubah begitu saja?"

"Kurang lebih begitu."

Aku sempat merenung. Gabriel terlihat seperti sosok yang menyenangkan. Aku tidak tahu apakah sikapnya itu untuk menutupi kesedihan, atau dia berusaha untuk kembali seperti dulu.

"Ponselmu berdering," sahut Gideon. Aku berjalan ke arah meja makan tempat kuletakkan ponselku setelah menghabiskan persediaan es krim Gideon. "Taruhan 10 dolar itu adalah Robert."

Dan benar saja.

"Dad?" Sapaku.

"Mengapa kau belum pulang?"

"Aku sedang berteduh di rumah teman. Apakah kau tidak tahu sekarang sedang hujan?" Aku memutar bola mata, walaupun Dad tidak dapat melihatnya.

"Teman? Sejak kapan kau punya teman di New York?"

"Hey!" Seruku kesal. "Masa kecilku di New York, ingat?"

"Mau kujemput?" Hatiku serasa meloncat ke mana-mana. Membayangkan hanya berdua dengan Dad lagi membuatku cemas.

"Tidak perlu. Setelah hujan berhenti aku akan langsung pulang. Kau tidak akan percaya saat temanku mengantarku nanti." Aku terkikik.

"Maaf?"

Aku tergelak kecil sebelum akhirnya mengakhiri telepon. Terkadang aku rindu saat bermain-main dengan Dad.

"Ada masalah?" Gideon berjalan ke arah kulkasnya, mengeluarkan sekotak es krim lagi. Mataku melebar.

Holy SinTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang