Holy Sin - #8

8.2K 378 7
                                    

TEALA

"Aku yang akan pergi," bisik Dad sambil mencium keningku.

Kulihat ia keluar dari kamarku menuju kamarnya. Terdengar kegaduhan saat ia mencoba membereskan barang-barangnya. Aku terduduk di tepi kasur. Ada perasaan aneh yang bergejolak. Aku kecewa dengan Dad, aku marah mengapa ia tidak bisa menjadi ayah yang bertanggung jawab. Tapi ketika ia memelukku, semuanya hilang. Keresahanku hilang. Sebut aku gila karena membiarkan ini semua terjadi, tapi bahkan aku sendiri tidak tahu apa yang terjadi.

Aku turun menuju dapur, diam-diam merasa cemas menunggu Dad turun. Sambil minum air dan bersandar pada konter, aku memikirkan bagaimana kelanjutan hubungan kami di masa depan. Kami pernah terpisahkan saat sama-sama berduka untuk Mom, dan kami bersatu kembali. Aku punya firasat kali ini akan berbeda.

Sosoknya turun sambil mengangkat koper dengan mudah. Aku mengalihkan pandangan, malu melihatnya. Di saat-saat seperti ini pun aku tidak bisa berhenti mengagumi wujudnya.

Teala, berhenti bertingkah layaknya perempuan murahan!

"Teala," panggilnya. Aku mendongak menatap mata kecokelatan itu. Mata yang sekarang memancarkan penyesalan. "Tidak ada yang bisa kulakukan untuk memutar waktu. Sebut aku gila, tapi aku tidak sadar apa yang kulakukan semalam. Satu-satunya yang membuatku sadar adalah... melihat darahmu."

Ia terdiam. Aku menatapnya. Air mata yang berhasil terpendam kembali memburamkan penglihatanku.

"Teala, aku mencintaimu, kau tahu itu. Setelah kepergian ibumu, hanya kau kebahagiaanku, itulah mengapa aku tidak ingin mencari wanita lain. Kau adalah fokus utamaku."

Tenggorokanku tercekat. Mengapa ini terasa lain? Mengapa seolah-olah ia berbicara bukan kepada putrinya?

"Kapan pun kau membutuhkanku, aku akan selalu ada. Jangan tinggalkan rumah ini, ambil hakmu. Berbahagialah." Ia melangkah perlahan ke arahku, merengkuhku sekali lagi ke dalam pelukan hangatnya. Dan aku tetap tidak membalasnya.

Setelah waktu yang kurasa sangat lama, ia melepaskanku. Kali ini tanpa ciuman di kening atau pipi. Ia hanya tersenyum lesu, lalu pergi.

Ia meninggalkanku dengan luka. Seolah pertahananku runtuh, aku terduduk di lantai dan menangis. Teriakanku terdengar parau. Batinku mengingat semua rasa sakit, semua sentuhan kasar yang kuterima. Aku mencengkeram dadaku, berharap rasa itu hilang. Aku menangis dan menjerit, layaknya memohon agar seseorang menolongku—menolongku mengangkat semua beban. Ada rasa sesak yang menyakitkan, yang membuatku semakin tersedu.

Seseorang, tolong aku.

Lalu aku membuka mata.

Keadaan gelap. Aku tertidur di lantai. Atau pingsan. Well, siapa yang tahu. Aku mengerang kesakitan saat mencoba bangun. Punggungku nyeri akibat lantai kayu yang keras. Aku benar-benar berantakan. Namun hebatnya, hari terasa hampa dan kebas. Aku lebih menyukai itu.

Jadi, aku berjalan menyalakan semua lampu. Aku pun dengan berat hati membersihkan kerusuhan di kamar tamu. Selama sepersekian detik aku menatap kasur tersebut, ada rasa nyeri yang perlahan muncul. Aku menghela napas, menahannya.

Setelah membersihkan lantai dasar, aku naik menuju kamar Dad. Aku masih bisa mencium aromanya yang khas. Aku memejamkan mata, menarik napas, dan berjalan untuk merapikannya. Kemudian baru aku merapikan kamarku sendiri.

Ketika hendak melucuti seluruh pakaian untuk mandi, ponselku bergetar di atas kasur. Aku melihat banyak sekali panggilan dan pesan tak terjawab. 10 panggilan dari nomor kantor, 5 pesan dari Gabriel serta 3 panggilan darinya juga, dan hanya 1 pesan dari Dad.

Holy SinTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang