Holy Sin - #12

7.4K 400 7
                                    

ROBERT

"Aku berharap bisa jujur lebih awal. Kau bukan anak kandungku."

Tatapan Teala membeku mengunci mataku. Aku mengumpat dalam hati karena sempat merasa egois. Seharusnya aku dapat menyampaikannya lebih lembut, bukan secara kasar dan mendadak.

"Kau bercanda," bisiknya lemah.

Aku berjalan menghampirinya, mencoba memeluknya. Namun, tentu saja, ia menghindar. Teala kembali menatap mataku, air mata telah mengumpul di pelupuk matanya.

"Mengapa, Dad? Mengapa sekarang? Mengapa di saat aku masih gila dengan semua tingkahmu? Mengapa di saat aku masih mencoba menerimamu kembali? Mengapa?" Teriaknya. Suaranya terdengar frustasi dan sedih.

"Biar kujelaskan, Teala. Kita tidak ingin ada drama dengan kau pergi begitu saja. Duduklah."

Kulihat ia berjalan kembali ke dapur, mengambil sekaleng soda. Terkadang aku merasa sangat kagum terhadap Teala karena ia tidak pernah sudi menyentuh alkohol—tidak peduli seberapa buruk situasinya.

"Ini konyol," gumamnya sambil menggelengkan kepala. "Tidak masuk akal."

"Tentu saja masuk akal!" Sergahku. "Kau merasakan sesuatu di antara kita, Teala. Itu karena kita tidak memiliki hubungan darah."

"Berhenti membahas apa yang ada di antara kita!" Teriaknya marah. "Bisa-bisanya kau mengambil kesempatan! Kau pikir aku akan senang? Kau pikir, meskipun aku merasakannya, aku akan merasa lega? Berhenti bersikap gila!"

Aku mengusap wajah frustasi. Aku tahu bahwa Teala benar. Ia telah menganggapku sebagai ayah selama ini. Mungkin ia juga menganggap dirinya sendiri tidak waras karena merasakan kedekatan kami yang tidak begitu wajar.

Aku menarik napas panjang sebelum memulai. "Kau ingin tahu semuanya, bukan?"

"Jangan mengurangi apa pun," jawabnya dingin.

"Baik. Kita mulai dengan usiaku." Aku diam beberapa saat, begitu juga Teala. "Usiaku 35 tahun."

Teala membuka mulutnya, terkejut. "35 tahun? Bagaimana bisa? Aku 21 tahun!"

"Kami mengadopsimu saat kau berusia 6 tahun. Shabby yang pertama kali punya ide untuk tidak memberitahu usia kami kepadamu, karena kami tahu kau akan curiga. Pada saat itu aku berusia 20 tahun, dan Shabby berusia 19 tahun ketika kami mengambilmu."

"19 tahun? Kalian menikah di usia yang begitu muda!" Serunya tidak sabar.

"Aku tahu itu kedengarannya gila. Kami menikah saat usiaku 19 tahun dan usia Shabby 18 tahun. Kami jatuh cinta, Teala. Kami tidak ingin melakukan—well, kau tahu—sebelum kami menikah. Dengan alasan itulah orangtua Shabby merestui kami menikah di usia yang begitu muda." Teala tidak merespon, jadi aku melanjutkan. "Kami melakukannya, tentu saja. Kami sudah legal, kami sudah menanti-nantinya. Pada saat itu kami langsung memikirkan seorang anak. Ya, aku tahu, masih sangat muda. Tapi kami tidak peduli. Aku punya uang melimpah. Kami mengunjungi dokter kandungan paling bagus untuk mengatur semuanya. Entahlah. Memberi Shabby sesuatu untuk meningkatkan hormonnya, mungkin? Kami mencoba segalanya pada saat-saat pertama."

Aku berhenti, lalu berjalan mengambil sekaleng soda. Teala memerhatikanku. Ekspresinya tidak lagi murka. Ia masih menunggu.

"Tapi takdir berkata lain. Aku tidak tahu bahwa Shabby mempunyai penyakit kronis komplikasi, begitu juga dengannya. Dokter menyarankan kami untuk tidak terburu-buru memiliki anak, siapa tahu akan memberi dampak yang negatif. Shabby merasa hancur, tentu saja. Dan sejak saat itu aku bersumpah tidak akan meninggalkannya."

Kulihat Teala meneteskan air mata baru. Aku ingin memeluknya. Tapi aku tahu itu akan memperburuk keadaan.

Mulutnya terbuka, "Bagaimana kalian menemukanku?"

Aku tersenyum mengingatnya. "Well, Shabby mempunyai teman yang mengelola panti asuhan. Di sanalah kami menemukanmu. Kau pendiam, sangat pendiam. Kau cantik, Teala. Dengan rambut cokelat keemasan, mata hijau pirus, bibir merah muda yang penuh—kau sempurna."

Kudengar Teala terkesiap, lalu mengalihkan pandangannya dariku. Aku tersenyum kecil.

"Teman Shabby, sebut saja Lilian, mengatakan bahwa kau mengalami depresi berat. Itu sebabnya kau sangat pendiam. Walaupun kau menjalani terapi sesering apa pun, tidak ada tanda-tanda kau akan sembuh. Menurut laporan hasil investigasi tentang orangtuamu, kau korban penganiayaan sebelum akhirnya mereka meninggal."

"Mereka meninggal?" Suara Teala terdengar sangat lemah. Aku tidak sampai hati melanjutkannya. "Bagaimana bisa Lilian menemukanku?"

"Kami tidak tahu." Jawabku jujur. "Lilian tidak pernah memberitahu bagaimana panti asuhannya menemukan kalian semua. Dan, well, jika kau bertanya-tanya mengapa kau tidak ingat apa pun dari masa kecilmu—itu karena kau depresi berat. Kau bahkan tidak bereaksi apa pun saat aku dan Shabby mengambilmu."

"Oh, Tuhan," desah Teala lemah. Aku memberanikan diri menghampirinya, merangkulnya.

"Kami terpaksa membiusmu pada saat itu. Terapi biasa tidak akan mempan. Kau terlalu menutup alam bawah sadarmu walaupun kau sedang terjaga. Kami harus mengobatimu dengan cara menidurkanmu. Dan, ya, kau tahu kelanjutannya saat kau terbangun."

"Tapi mengapa aku tidak ingat orangtuaku? Jika memang mereka menganiayaku, seharusnya aku mengingatnya, bukan? Seharusnya aku bisa ingat sebelum depresi melandaku."

Aku meremas lembut pundaknya. Aku tahu ini berat bagi Teala. Namun kelegaan perlahan menyelimutiku. Akhirnya ia tahu yang sebenarnya.

"Aku tidak tahu, baby," gumamku pelan, tenggelam dalam pikiranku sendiri.

"Aku merasa aneh," ucapnya tiba-tiba. Aku menunduk menatapnya. "Ini terlalu mendadak."

"Aku tahu," kataku menenangkannya lalu mengecup kepalanya. "Dan semuanya berubah lebih berantakan saat aku... menyadari perasaan ini."

"Oh, diamlah!" Teala berseru memotong ucapanku, melepaskan diri dari lenganku. "Kau tidak bisa menghancurkanku dengan fakta-fakta mengenai masa kecilku kemudian membicarakan tentang perasaan sialan itu!"

"Aku harus jujur, Teala! Aku harus mengatakan semuanya. Aku tidak boleh mengurangi apa pun, ingat?" Teala bersedekap tidak menjawab. Aku kembali meraihnya. "Kau tumbuh menjadi wanita dewasa yang mandiri dan cantik. Aku... aku tidak tahu mengapa aku mencintaimu begitu dalam. Kurasa perasaanku berubah. Bukan sebagai ayah."

Teala hanya memandangku. Tatapannya dingin dan tak terbaca. Kemudian dengan satu dorongan, ia lepas dariku

"Aku muak dengan semua ini, Robert."

Holy SinTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang