Holy Sin - #9

7.5K 400 12
                                    

Setelah kurang lebih 8 jam di perjalanan—dikarenakan satu dan lain hal yang menghambat perjalanan normal selama 5 jam—aku mendaratkan kaki di keramaian New York. Angin segar menghantam wajahku ketika aku berjalan keluar dari bandara untuk mencari taksi. Aku merogoh tasku untuk mencari dompet memastikan aku punya uang kecil.

Jantungku berhenti berdetak.

Ke mana dompet sialan itu?

Aku berjongkok agar lebih nyaman membongkar seluruh bagian dalam tasku, tidak peduli dengan tatapan semua orang.

Oke, ini hari sialku. Dompetku tidak ada. Aku kembali mengingatnya, dan mengerang sebal saat mengingat bahwa dompet itu bisa saja tertinggal di mobil karena tadi aku sempat ke restoran fastfood dan pesan lewat drive-through.

Aku duduk di trotoar, merasa lebih lelah. Apa yang akan kulakukan tanpa sepeser uang pun di sini? Emerald memang telah membayar untuk tiket pesawat dan hotel, tapi dia tidak membayar untuk makananku. Ditambah lagi sekarang aku tidak bisa ke mana-mana karena tidak memiliki uang untuk taksi.

Sial, sial, sial.

Aku mendongak memandang langit. Saat kutarik pandanganku kembali ke bawah, aku melihat sebuah gedung tua yang ramai oleh orang-orang bersetelan jas mahal. Di samping tangga gedung terdapat karangan bunga superbesar dengan satu kalimat yang menyejukkan hatiku—sedikit.

Downey Tech & Co. Exhibition.

Aku menggigit bibir. Haruskah aku masuk ke sana dan menemui Dad? Mengapa aku harus ditempatkan di dalam situasi seperti ini? Mengapa satu-satunya orang yang bisa menolongku harus Dad?

Aku memantapkan hati dan berdiri. Aku melirik koper kecilku, bersyukur dalam hati karena koper tersebut sama sekali tidak merepotkan. Setelah merapikan pakaian serta rambut, aku menyebrang.

Aku harus mengantre untuk bisa masuk. Aku tidak percaya bahwa aku melakukan ini.

Sekarang tiba giliranku. Aku mendengus lega saat mereka menyediakan penitipan tas. Aku menyerahkan koper dan hanya menenteng tas tangan. Saat aku hendak menerobos masuk, seorang pria botak dan berkumis menahanku.

"Maaf, miss. Bisa tunjukkan undangannya?" Aku menatapnya terkejut. Sejak kapan Dad mengadakan acara pameran memakai undangan? Lagi pula, tidakkah pria ini tahu siapa aku?

"Aku tidak punya undangan." Kami hanya saling tatap, orang-orang mulai tidak sabar. Aku mendengus sebal. Aku benci saat harus melakukan ini. "Well, aku putri Mr. Downey."

Beberapa orang di belakangku mendengus geli dan menahan tawa. Bisa kurasakan wajahku memanas.

"Yeah, banyak gadis muda yang ingin mendapatkan perhatian Mr. Downey dan mencoba trik itu." Canda si pria botak.

Apa katanya? Apakah dia berpikir aku hanya seorang penggemar gila?

Aku merogoh tas, dan dengan mulus melempar pasporku ke dadanya. Ia mengeceknya sekilas, wajahnya semakin memerah. Untuk sesaat dia tidak berani mendongak untuk menatap mataku. Semua orang tiba-tiba diam.

"Well?" Tanyaku tidak sabar.

Pria tersebut akhirnya mendongak, menyerahkan pasporku, dan dengan kikuk mempersilakanku masuk tanpa sepatah kata pun. Kurang ajar sekali!

Ketika masuk, hidungku menyaring aroma khas Dad. Di mana-mana ada aroma Dad. Bahkan jika berkunjung ke kantornya, di sana juga tercium aroma Dad. Aku menghela napas berat.

Untuk sesaat aku takjub dengan pamerannya. Begitu banyak teknologi canggih, baik yang sudah legal diperjualbelikan, atau yang masih dalam tahap percobaan. Para pramusaji berkeliling membawa nampan-nampan champagne. Aku mengambil satu gelas ketika seseorang menepuk pundakku.

Holy SinTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang