Dilon Theo Glesson

6.2K 498 51
                                    

🍂🍂🍂

"DILON!"

"RAVA!"

"GIO!"

"THE TSADEST!"

"WOOOO!!!"

"DILON WE LOVE YOU!!!"

"RAVA KIYOD!!!"

"GIO TAMPAN!!!"

"THE TSADEST!!!"

Riuhnya suara teriakan para penonton menghiasi sebuah cafe ternama di pusat kota kerena mendatangkan band anak muda yang tampannya bukan main. Bahkan penonton alay pun mengaku mereka bisa jadi hamil online karena pesona mereka.

Di atas panggung, ada tiga cowok remaja dengan setelan jaket kulit berwarna sama dan celana jeans yang sama pula. Posisi mereka dalam band tersebut ada yang menjadi gitaris, drummer, kemudian vokalis. Hanya tiga orang saja tapi penggemarnya banyak sekali.

Bukan, mereka bukan artis yang sering disorot kamera kemudian diwawancarai dan ditayangkan di televisi. Mereka banyak dikenal publik melalui youtube dan viewersnya pun sudah jutaan.

The Tsadest, itulah nama band yang terlahir dari salah satu SMA favorit Jakarta—SMA Airlangga. Mereka terkenal akan kesadisannya selama menjabat bagian penting di OSIS, bahkan untuk berbagi senyum pun jarang sekali. Namun, dibalik sadisnya itu, mereka masih punya hati nurani dan rasa kepedulian yang tinggi.

"Terima kasih."

"WOOOO!!! LAGI! LAGI! LAGI!"

Penonton yang tadinya menikmati alunan musik ballad, sekarang malah meminta sang vokalis untuk bernyanyi lagi. Vokalis yang sering dipanggil Dilon tersebut tersenyum singkat, itupun dapat melelehkan banyaknya manusia yang menonton mereka.

Dilon berbalik dan berunding dengan dua temannya, apakah mereka akan mempersembahkan satu buah lagu lagi atau sudah cukup. Namun, baru saja Dilon membuka mulut, tiba-tiba ponsel di dalam saku celananya bergetar.

Dengan sopan Dilon membungkukkan badannya tanda dia meminta izin untuk ke belakang panggung sebentar. Bukan tidak menghargai penonton, tapi orang yang saat ini melakukan panggilan lebih berharga bagi Dilon.

"Hallo, Mah ?"

"Dilon kamu sibuk ?"

Dilon melirik keluar panggung, para penggemarnya masih setia menunggu sambil teriak-teriak tak jelas. Namun, Dilon tahu kalau sang mama meneleponnya, maka dia harus segera ke rumah sakit—tempat Beliau bekerja.

"Ehm, enggak Mah."

"Bisa ke sini sekarang ? Mamah ada jadwal operasi untuk pasien tunanetra, kamu jaga adik kamu di ruangannya bisa ?"

Dilon menghela napas perlahan. "Bisa, Mah."

"Segera ya."

"Iya, Mah."

Tut.

Belum sempat Dilon mengucap salam, panggilan telah dimatikan oleh sang mama. Cowok dengan rambut sedikit acak itu kembali melihat barisan para penonton di balik tirai. Dengan wajah sangarnya Dilon kembali menghadap penonton yang berteriak semakin histeris.

"Mohon maaf, pertunjukan band kami cukup sampai di sini."

"Terima kasih."

Hanya itu yang Dilon ucapkan, kemudian kembali membungkuk dengan sopan. Kedua temannya sempat bingung kenapa Dilon tiba-tiba menghentikan pertunjukkan, tapi mereka mengikut saja dengan sama-sama membungkuk.

HARADILON  [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang