{BOOK 2 OF LIMBAD SERIES}
Hara, adalah gadis yang terlahir sebagai anak tunanetra, sebuah penyakit yang ia derita menghambat kedua matanya dan menyebabkan gadis itu tak dapat melihat objek apapun dengan jelas. Datar, itu yang selalu menyambutnya ket...
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
"Jiwa dan ragaku bisa merasakan lelah. Tapi kurasa, tak ada kata menyerah walaupun terasa lelah mengejarmu."
🍂🍂🍂
Macet. Hal itu yang sedang melanda mobil Gio sekarang. Sudah menjadi ciri khas kota yang mereka tinggali. Jadi mau tidak mau, mereka harus merasakan pengap dan panas di dalam mobil karena tidak ada celah yang bisa diterobos.
"Ini macetnya masih panjang, gimana kalau kita makan dulu ? Sekalian shalat Ashar nanti," saran Gio.
Dilon melirik jam tangannya, masih pukul 3 sore, tak ada salahnya kalau dia juga ikut menyetujui ucapan Gio.
"Lo berdua ikut, kan ?" tanya Gio.
"Iya, iya! Kebetulan gue juga laper," sahut Hara bersemangat.
"Kamu gak dimarahin, kan ?" tanya Dilon. Entah kenapa firasatnya jadi tidak enak.
"Enggak. Nanti gue bilang ke Ayah, kok."
"Ayey! Daripada di rumah terus kan, Ra ? Sumpek, gabut, mending sesekali jalan-jalan," cerocos Chaca tapi tak urung Hara menyetujuinya.
Gio menepikan mobilnya, mencari tempat parkir yang kosong pada sebuah restoran terkenal. Restoran yang rasa dan aroma makanannya tidak diragukan lagi kelezatannya. Harganya pun tidak menguras isi dompet, jadi restoran tersebut tidak pernah sepi pengunjung hingga waktu akan tutup tiba.
"Hmmm aromanya wagelaseh!" Chaca langsung berlari, sengaja mencari tempat terpisah dengan Hara dan Dilon.
"Dasar, mencari kesempatan dalam kesempitan!" gerutu Dilon.
Gio dan Chaca duduk berdampingan di dekat meja kasir, katanya sengaja karena penjaga kasirnya ganteng. Gio harus ekstra sabar memang. Sementara Hara dan Dilon duduk di dekat jendela restoran berkaca besar.
"Duduk di sini aja, ya ?"
Hara tersentak, lalu mengangguk kaku.
Entahlah, daritadi ia merasa jantungnya berdegup dua kali lebih cepat. Tidak biasanya dia seperti ini hanya karena bersama Dilon.
"Yah, hujan."
Dilon menatap ke luar jendela, jalanan yang tadinya macet luar biasa seketika diguyur oleh derasnya hujan. Syukurlah, menepikan mobil dan bersantai di restoran ini memang pilihan yang tepat.
"Hujan ?" Hara bicara pelan, jemarinya bergerak menyentuh kaca yang berembun akibat rintik hujan.
"Kenapa ?" tanya Dilon dan lagi-lagi membuat Hara tersentak.
"Em, engga. Eh, itu. Anu...."
"Kenapa kamu kok tiba-tiba gagap ?"
"Eh ?" Seketika jantung Hara rasanya lepas dari tempatnya melekat.