Prolog

17.7K 918 26
                                    

[Proses Revisi]

Cerita kolaborasi bersama lyndia_sari
Seri pertama dari cerita "Rapuh" dan "Rumit"

Dimulai, 01 Juni 2018
Selesai, 06 Oktober 2020
Revisi, 28 April 2021

Dimulai, 01 Juni 2018Selesai, 06 Oktober 2020Revisi, 28 April 2021

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

PANDANGAN Abil kosong. Lama, ia menatap jendela kamarnya yang masih tertutup kendati matahari sudah berdiri gagah di puncak sana. Semburat tipis yang menerobos masuk lewat kisi-kisi jendela, sedikit memberi penerangan di ruangan serba putih itu.

Perlahan, tangan lemahnya terangkat. Menyentuh dadanya yang entah kenapa terasa tak sehangat biasanya. Ada kehampaan yang begitu parah di dalam sana. Kosong. Namun, entah kenapa Abil merasa dadanya selalu dipenuhi sesak. Begitu sesak sehingga untuk bernapas saja rasanya begitu nyeri.

Seminggu terhitung sejak hari itu, Abil enggan beranjak dari tempatnya. Hanya mengurung diri dari dunia luar dan menenggelamkan diri bersama kesunyian di rumahnya yang luas. Luas lantaran hanya ada dirinya di rumah mewah itu.

Sejak awal, ketika debut pertama hidupnya dimulai, Abil tahu bahwa sampai kapan pun takdir akan menyudutkannya dalam lubang nestapa yang tiada habisnya.

Terbukti ketika pada akhirnya orang-orang berarti dalam hidupnya, satu per satu meninggalkannya sendiri. Meninggalkannya dalam kesepian. Dalam rasa sakit dan perih yang setiap hari kian mencekiknya.

Sekarang, ketika akhirnya ia mampu bangkit, kenyataan kembali mengempaskannya ke dasar jurang keputusasaan.

Tanpa sadar, kala sesak itu tak bisa lagi dibendung, hujan di balik mata laki-laki berkulit pucat itu pun luruh juga. Turun deras membasahi pipi yang tak sesegar biasanya.

Isak tangis itu akhirnya buncah juga, menggema memenuhi tiap sudut ruangan.

Abil tak tahan lagi.

Abil benar-benar ingin menyerah.

Terlebih, ketika ia sadar ada sesuatu yang perlahan meluncur deras dari lubang hidungnya. Merah menyala, menetes mengotori tangan pucatnya yang masih mencengkram kuat dada.

Seolah tak peduli, Abil biarkan cairan pekat nan amis itu terus meluncur. Sebagian bahkan jatuh menetes ke atas lantai putih yang dingin.

Ketika sakit itu mulai menyerang dengan brutal, alih-alih mencoba untuk bertahan, Abil justru menatap sinis botol-botol kecil di ujung meja sana, dan lebih memilih menyerahkan diri pada kegelapan.

Atau bahkan pada kematian?

...

.Bersambung
Bandung, 28 April 2021

------------------------------------------------
Cerita ini sudah diterbitkan dengan judul RETAK. Versi cetak bisa di-order di shopee tokohaebara


-----------------------------------------------

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

-----------------------------------------------

Note: Semua gambar yang ada di cerita ini, diambil dari berbagai sumber.

DISARRAY (RETAK)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang