Abil Naufal tahu kalau hidupnya tidak diinginkan. Bagaimana ia ditinggal sendiri dengan dalih agar hidup mandiri, menjadi bukti kalau keluarganya tidak menginginkan kehadirannya. Kendati begitu, Abil punya banyak sahabat yang selalu menjadi alasan i...
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
“Sir.”
Sira yang tengah asyik mengotak-atik ponselnya seketika menoleh ke samping kiri. Tempat di mana Abil berada saat ini. Setelah menghabiskan waktu setengah jam lamanya guna beradu argumen, akhirnya Abil mengalah dan pasrah ketika ia menyeretnya ke tempat ini.
Jujur, Abil baru tahu kalau di balik sikap Sira yang lembut, gadis itu ternyata cukup keras kepala, agak pemaksa juga. Sebabnya, kini ia terjebak di antara puluhan pasien lainnya yang juga tengah menunggu panggilan guna mendapat pemeriksaan.
“Kenapa?” Memasukkan ponsel ke dalam tas selempang kecilnya, Sira kemudian menatap Abil dengan serius.
“Lo pulang aja, gih. Bukannya tadi nyokap lo telepon nyuruh lo pulang ya?” Jadi, beberapa menit setelah mendaftarkan Abil, Sira mendapat telepon dari Melly. Wanita itu menanyakan keberadaannya, dan setelah tahu kalau ia tengah berada di rumah sakit untuk mengantar Abil, Melly langsung menyuruh ia pulang buru-buru.
“Nanti lo kabur terus enggak jadi periksa lagi,” tuduh Sira.
Memijit pelipisnya, Abil kemudian mendengkus. “Ya enggaklah, Sira.”
“Gue tunggu di sini aja sampai lo dipanggil masuk, nanti gue baru pulang.”
Panjang, Abil menghela napas. Setelahnya ia tidak lagi berkomentar. Udara penat yang memadati kepalanya membuat ia enggan berdebat lebih jauh dengan Sira. Lelah. Pusing. Di saat seperti ini, Abil malah ingin cepat-cepat bertemu dokter dan mengadu apa yang ia rasakan. Berharap setelahnya sakit yang ia rasa bisa hilang dalam satu ucapan mantra.
Pusing banget, Ya Tuhan ... Abil memejamkan mata kuat-kuat. Kepalanya terasa begitu berat sehingga ia terpaksa menunduk dalam. Nomor antriannya masih cukup lama, dan sakitnya semakin bertindak anarkis. Apa rumah sakit selalu ramai begini, ya? Pikirnya.
“Lo oke? Masih kuat, ‘kan?”
Sebisa mungkin Abil meredam sakit itu dengan menarik napas sedalam mungkin. Tentu saja, ia tidak ingin Sira terlalu mengkhawatirkannya. “Ohya, gue mau nanya.” Mengalihkan pembicaraan. Abil membenarkan posisinya, menatap Sira dengan serius.
“Kenapa?”
“Lo sama Alwin udah temenan dari kecil, ‘kan? Lo pasti tahu kan Alwin itu—”
Mendengar nama Alwin kontan Sira mendengkus kasar. “Gue tahu, Bil. Gue tahu baik-buruknya Alwin itu kayak gimana. Tapi, gue lagi enggak mau bahas dia. Gue lagi enggak mau bahas apa pun tentang Alwin, juga Pandu.”
Abil mengedipkan mata beberapa kali. Bukan itu sebenarnya yang hendak ia bicarakan. Ia hanya ingin bertanya soal hubungan Alwin dengan ayahnya. Pasalnya, saat ia berkunjung ke rumah Alwin sore kemarin, Abil merasa ada yang aneh dengan hubungan keluarga sahabatnya itu.