Abil Naufal tahu kalau hidupnya tidak diinginkan. Bagaimana ia ditinggal sendiri dengan dalih agar hidup mandiri, menjadi bukti kalau keluarganya tidak menginginkan kehadirannya. Kendati begitu, Abil punya banyak sahabat yang selalu menjadi alasan i...
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
CAHAYA itu menerobos kisi-kisi jendela, menjemput sadar Abil yang masih ditenggelamkan dalam lautan mimpi. Abil menggeliat tak nyaman. Silau mentari menyapu halus permukaan wajah pucatnya, membuat laki-laki berkulit pucat itu mau tidak mau terpaksa membuka mata.
Hal pertama yang terekam ketika lensa matanya terbuka adalah, sosok Rani yang tengah membereskan meja belajarnya. Kehadiran Rani seketika mengingatkan Abil akan sesuatu.
Jihan?
Perlahan, ia meraba keningnya. Jelas, ia masih merasakan sentuhan halus yang begitu familiar di sana. Sentuhan Jihan. Namun, melihat keberadaan Rani di sana, sudah menjelaskan segalanya tanpa harus dipertanyakan.
Jadi bukan, ya?
Raut kecewa seketika tergurat di wajah laki-laki kelahiran 30 Maret itu.
"Abil udah bangun?" Rani buru-buru mendekat ke arah Abil begitu tahu majikannya itu sudah membuka mata.
Wanita itu berusia 36 tahun. Seumuran ibunya. Hanya saja penampilannya jauh lebih sederhana. Setelah ibunya pergi, Rani yang mengurus segala keperluan Abil. Jadi, wajar jika Abil sudah menganggap Rani seperti ibunya sendiri, begitu pun sebaliknya. Rani bahkan memanggil Abil tanpa embel-embel majikan seperti seharusnya pembantu lakukan. Hubungan mereka sudah begitu rekat.
Akan tetapi-—
"Papanya Abil minta Bibi balik ke sini. Tapi, Abil kayaknya gak suka Bibi di sini."
-—Abil masih berharap kalau yang ia lihat semalam itu adalah Jihan.
"Enggak, kok." Abil menggeleng cepat selagi tubuhnya berusaha untuk bangun. Rani dengan sigap membantunya. "Abil kaget aja Bibi ada di sini."
Rani tersenyum. Senyum tulus yang selalu berhasil mendamaikan hati ricuh Abil. Abil selalu berpikir begitu beruntung mereka yang memiliki ibu selembut Rani, wanita yang saat ini tengah mengelus rambut kusutnya dengan penuh sayang.
"Abil makin kurus aja," komentar Rani. Mengamati Abil serinci mungkin.
"Makan Abil banyak, tapi badan Abil tetep kurus." Abil nyengir.
Sebentar Rani membisu. Mengamati wajah Abil sesaksama mungkin. Kendati Abil sudah tumbuh menjadi lebih dewasa, di matanya Abil Naufal tetap anak kecil polos yang ia tinggalkan empat tahun yang lalu. Anak kecil yang merengek, menarik-narik bajunya agar ia tak pergi meninggalkan rumah. Anak kecil yang berlari mengejar dirinya, kemudian menangis tersedu di depan gerbang rumah kala taksi membawanya pergi. Anak laki-laki bermata polos yang sampai sekarang selalu menyimpan semua sakit dalam senyum. Mengubur semua perih dalam tawa.
"Kamu enggak pernah berubah." Kalimat itu refleks lolos dari mulut Rani.
Abi mengernyit sejenak, sebelum akhirnya tersenyum simpul. "Abil berubah, Bi. Jadi lebih tampan dan menawan."
Rani tertawa selagi tangannya mengusak gemas rambut Abil. Abil ikut tertawa. Ini pertama kalinya setelah hampir empat tahun, pagi harinya dipenuhi tawa lagi.
Sebelumnya, setelah Rani pergi meninggalkannya, Abil sempat lupa bagaimana caranya bahagia. Hari-harinya, hanya dipenuhi nestapa dan derita. Sampai Jihan hadir memberi sedikit warna. Mengobati luka kehilangan yang pernah tercipta. Sampai saat ini, gadis itu masih setia di sampingnya. Tak pernah beranjak barang seinci untuk meninggalkannya.
Ah, tidak!
Abil kemudian berhenti tertawa. Awan mendung seketika memenuhi sudut-sudut hatinya.
Abil lupa.
Sejak kemarin, Jihan sudah melangkah meninggalkannya.
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Revisi, 20 Mei 2021
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.