Abil Naufal tahu kalau hidupnya tidak diinginkan. Bagaimana ia ditinggal sendiri dengan dalih agar hidup mandiri, menjadi bukti kalau keluarganya tidak menginginkan kehadirannya. Kendati begitu, Abil punya banyak sahabat yang selalu menjadi alasan i...
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Sayangnya Bunda (.づ◡﹏◡)づ.
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
KEDUA sudut bibir Hilal terangkat barang sedikit. Sebenarnya, ia masih dibuat heran mengapa gadis di sebelahnya ini masih bersikap biasa saja. Seolah kejadian beberapa menit yang lalu tidak pernah terjadi. Tanpa sedikit pun muram di wajah Aisya, gadis itu masih sibuk menyeruput choco banana dalam cup-nya. Dengan sesekali mengunyah Beng-Beng di satu tangan yang lain.
Jadi, selepas perkelahian di parkiran tadi, ia berakhir bersama Aisya. Hilal berniat mengantar kakak kelasnya itu pulang. Tapi, ketika gadis pecinta cokelat itu meminta untuk sejenak membeli minuman favoritnya, tentu Hilal tak dapat menolak.
"Lal, katanya, ya, cokelat itu bisa memperbaiki mood." Aisya sadar jika sedari tadi Hilal memerhatikan setiap geraknya. Bahkan, sedikit hentak kakinya mengikuti musik yang tersambung dengan earphone pun, tak luput Hilal amati.
"Gue itu paling gak suka sama orang yang bawa masalah di luar rumah, ke dalam rumah, atau sebaliknya. Makanya, sorry kalau gue ngajak lo ke sini dulu buat nata emosi."
Sebuah penjelasan yang dapat Hilal terima. Wajar jika gadis itu terlihat selalu ceria. Ia hanya dapat mengangguk. Menyetujui perkataan Aisya. Sungguh, dirinya merasa canggung untuk membalas lebih. Lantaran, memang tidak biasa mereka hanya berdua dalam waktu dan tempat yang sama.
Jeda lama kembali tercipta ketika Aisya mulai sibuk dengan pikirnya. Jujur, sulit untuk benar-benar melupakan kejadian yang baru saja terjadi. Mengingat hubungan persahabatan mereka baru membaik dan kini malah terasa lebih runyam dari semula. Belum lagi, wajah pucat Abil, setiap tuturnya cukup gamblang menjelaskan bahwa sosok itu tak baik-baik saja. Entah mengapa, menambah beban pikirnya. Ingin Aisya turut membantu Abil tadi. Namun, perhatian Jihan berhasil mengurungkan niatnya. Bagaimanapun, Abil pasti lebih membutuhkan gadis itu dibanding dirinya.
"Lal, ya ...." Aisya menggantung kalimatnya.
"Ya?" Hilal yang juga memang masih memikirkan sang adik, mau tak mau menoleh ke sebelah kiri. Sejurus mengalihkan semua fokusnya pada Aisya.