SEBENARNYA, sejauh apa pun Jihan meninggalkan Abil, perasaan itu pada akhirnya menarik dirinya kembali. Jihan benci akan hal itu. Jihan benci dirinya yang sepenuh hatinya hanya tertambat untuk laki-laki itu. Jihan benci dirinya yang terlalu mencintai Abil.
Karena faktanya, ia tidak pernah bisa meninggalkan Abil. Tidak pernah selangkah pun meninggalkannya kendati ia mau. Perasaan itu sudah terlalu erat membelit seluruh rongga hatinya. Abil, bagi Jihan adalah segalanya. Sumber kebahagiaannya. Cita-citanya. Mimpi-mimpinya.
Katakan saja ia terlalu dramatis. Katakan saja ia terlalu kekanakan. Namun, kejadian kemarin ketika Alwin memberitahunya kalau Abil sakit, Jihan tak tahan untuk tidak menemui laki-laki itu. Padahal, ia sudah bertekad untuk melangkah sejauh mungkin. Ia tidak akan berbalik barang sekalipun ketika ia tahu bahwa posisinya di hati Abil tak pernah seberarti posisi Abil di hatinya.
Jihan melangkah lesu memasuki gerbang sekolah. Tak bersemangat sekali. Galau. Alasan pastinya kenapa wajah gadis penyuka fotografi itu begitu mendung hari ini cuma satu.
Abil.
Demamnya parah banget kemarin. Hari ini pasti gak masuk, begitu pikir Jihan.
Akan tetapi--—
"JIHAN!"
-—-terlalu eksplisit untuk tak dikenali. Suara itu begitu Jihan hafal. Abil.
"Ayo!"
Tak ada kesempatan untuk Jihan mengeluarkan suara. Pasalnya, laki-laki yang saat ini tengah mengenakan jaket Adidas putih itu tiba-tiba saja mengapit lehernya. Lantas menyeret tubuhnya di sepanjang koridor sekolah. Terseok Jihan mengikuti langkah cepat Abil, sementara matanya terus memandangi wajah pucat laki-laki yang begitu disayanginya itu. Jihan tak mengeluarkan suara apa pun bahkan saat mereka tiba di dalam kelas dan kembali duduk bersebelahan. Hanya menatap rinci laki-laki itu dengan bingung.
"Jangan cuekin gue lagi." Abil kemudian bersuara, selagi tangannya sibuk mengeluarkan buku-buku pelajaran di dalam tas.
"Kenapa?"
"Karena gue bukan Dilan yang sanggup nahan beratnya rindu."
Jihan terpaksa mengulum senyumnya. Tak ingin menunjukkan kepada Abil kalau ia tengah tersipu. "Lo bukannya lagi sakit?"
"Ya ... gue ke sini lagi berobat."
Jihan mengernyit. Benar tak paham akan apa yang keluar dari bibir laki-laki itu.
"Lo obat gue. Gue sehat kalau ada lo." Tubuh Jihan menegang. Bukan sebab guru seni budaya yang menjanjikan ulangan hari ini memasuki kelas. Namun, bisik Abil yang merambat lambat hingga sampai di telinganya.
KAMU SEDANG MEMBACA
DISARRAY (RETAK)
Fiksi RemajaAbil Naufal tahu kalau hidupnya tidak diinginkan. Bagaimana ia ditinggal sendiri dengan dalih agar hidup mandiri, menjadi bukti kalau keluarganya tidak menginginkan kehadirannya. Kendati begitu, Abil punya banyak sahabat yang selalu menjadi alasan i...