ABIL merasa perutnya lapar. Namun, lemas campur malas yang kini tengah menguasainya membuat ia benar-benar enggan untuk sekadar bangkit dari tempat tidur. Rasanya hanya ingin bergelung di antara tebalnya selimut, berlindung dari sengatan udara dingin.
Udara pagi di musim kemarau memang cenderung jauh lebih dingin ketimbang di musim penghujan. Tentu, sebagai anak IPA, Abil tahu apa alasannya. Hanya saja, kali ini ia tidak tahu kenapa dingin itu terasa lain di tubuhnya.
Ah, mungkin pengaruh demam yang sejak kemarin menyerangnya. Tubuhnya menggigil di saat kulitnya bahkan terasa panas.
"Sial!" Abil tak ingin merutuk seandainya saja rasa lapar itu tak mendemonya semakin anarkis. Lambungnya sampai terasa diperas dari dalam. Melilit dan nyeri.
Alhasil, meski enggan, laki-laki dengan garis mata supertipis itu menyibak selimut dan segera turun dari tempat tidur. Ia perlu mendamaikan cacing-cacing di perutnya. Dengan menjadikan benda apa pun yang ada di sekitarnya sebagai tumpuan, Abil terseok berjalan menuju dapur.
Sampai di dapur, alih-alih mulai menjalankan aksinya—-mengisi perut—-Abil malah berjongkok di depan lemari es yang terbuka, memerhatikan bahan-bahan masakan yang sempat Jihan taruh beberapa hari yang lalu dengan bingung.
Yang paling mudah mungkin hanya membuat telur ceplok. Namun, ia perlu menanak nasi terlebih dulu. Membutuhkan waktu paling sebentar setengah jam untuk rice cooker berganti mode, sementara ia perlu makan saat ini.
Kemudian, mata sewarna langit malamnya berputar ke arah bufet, tempat di mana ia menyimpan tumpukan mi instan. Satu-satunya masakan yang bisa menyelamatkannya dari bahaya keroncongan. Lagi, seperti biasanya.
Hela napas lelah Abil embuskan. Sebenarnya, ia ingin menuruti perintah Jihan untuk tidak lagi mengkonsumsi makanan nirnutrisi itu. Namun, bagaimana lagi? Hanya itu yang bisa membuatnya bisa bertahan hidup sejauh ini.
Abil baru saja hendak bangkit dari posisinya saat sadar ada hal yang ganjil dalam penglihatan. Baru saja sesuatu menetes membasahi punggung tangannya. Merah kental dan amis. Refleks, ia menyentuh bawah hidungnya.
Darah.
Mimisan lagi, hah?
Jadi semalam, sepulang nonton bersama Jihan. Tepatnya, setelah mencoba menenangkan Metta dan mengantar pulang gadis itu, Abil pulang dengan kondisi lemas bukan buatan. Pusing dan mual dengan serempak menyerangnya. Ditambah, tiba-tiba saja ia mimisan. Hal yang seumur hidup tak pernah dialaminya.
Abil mencoba untuk tidak panik kendati rasa cemas mulai meliputi hatinya. Takut kalau-kalau kebiasaan buruknya-—mengkonsumsi junk food—-sudah menunjukkan seringai efek samping.
Jangan-jangan gue kanker!
Please, Bil. Positive thinking aja. Kalo lo sakit, siapa yang bakal peduli? Jadi, jangan mikir macem-macem!
KAMU SEDANG MEMBACA
DISARRAY (RETAK)
Novela JuvenilAbil Naufal tahu kalau hidupnya tidak diinginkan. Bagaimana ia ditinggal sendiri dengan dalih agar hidup mandiri, menjadi bukti kalau keluarganya tidak menginginkan kehadirannya. Kendati begitu, Abil punya banyak sahabat yang selalu menjadi alasan i...