"WIN! Gue bicara serius ini!"
"Ya teruuuus?" Berusaha tak mengindahkan cerocosan Alfi di ambang pintu sana, Alwin terus larut bersama si bundar oranye. Menyibukkan diri dalam permainan tunggal yang ia buat sendiri.
"Terus, terus, aja lo kayak tukang parkir." Alfi menggerutu sebab sejak tadi adik laki-lakinya itu tampak tak serius menanggapi ocehannya.
Cuaca sedang terik-teriknya. Tapi, sudah hampir dua jam Alwin malah asyik berpanas-panasan di sana, sebuah lapangan basket kecil di belakang rumah. Wajah rupawannya bahkan sudah memerah dan dibanjiri keringat.
"Shit!" Umpatan itu refleks lolos saat lagi-lagi shooting yang ia lakukan gagal.
"Terserahlah!" Alfi menghentakkan kaki kesal. Ia baru saja hendak berbalik dan melangkah meninggalkan Alwin saat....
"Argh!"
...erangan itu terlalu jelas untuk tidak menyentuh gendang telinganya. Dilihatnya tubuh Alwin luruh, terduduk lemas di tengah lapang sana. Selagi tangannya sibuk mencengkeram kuat kepalanya. Buru-buru Alfi berlari menghampiri si adik, berjongkok dan mensejajarkan diri dengan Alwin.
"Bandel sih! Orang sakit tuh diem di rumah. Istirahat. Tidur. Rebahan. Bagus-bagus mau nurutin permintaan Mama sama Papa buat periksa ke dokter. Bukan malah panas-panasnya main basket gini."
Alwin menggeleng perlahan. Mengusir denyutan hebat di dalam kepalanya. "Lo ngebawel terus, jadi pusing kan gue." Kekeh Alwin kontan mengudara saat melihat wajah cantik kakaknya memerah karena menahan marah. Sedetik kemudian ia meringis lantaran Alfi dengan tiba-tiba menggeplak punggungnya dengan kasar.
"Lo tuh, ya! Gue itu khawatir tau gak?" Alfi bangkit. "Gue bilangin sama mama papa pokoknya." Lantas setelah itu meninggalkan Alwin, berjalan tergesa ke dalam rumah.
Melihat si yang lebih tua pergi, Alwin perlahan bangkit. Membungkuk sebentar guna menghalau pening. Lantas setelah denyutan di kepalanya perlahan lenyap, Alwin berjalan terseok menyusul Alfi.
"Bilangin apa sih, Kak?" Alwin menyambar cepat ponsel di tangan Alfi begitu berhasil membawa langkahnya ke hadapan si kakak.
"Bilang kalo lo gak mau ke dokter. Gak mau periksa." Alfi berusaha merebut kembali ponselnya. Tapi, Alwin mengacungkan ponselnya itu ke udara. Ia kemudian menyerah saat sadar kalau kini tubuh adik kecilnya itu sudah lebih tinggi dari dirinya. Ia tak mungkin bisa meraih ponsel itu.
"Percuma. Lo bilang juga mereka gak bakal peduli. Gue sekarat juga gak bakal peduli. Jadi, ngapain gue periksa ke dokter?"
"Lo itu ngebacot apa, sih? Emang yang nyuruh gue buat bujuk lo ke dokter itu siapa, hah? Mama, Win. Mama tuh khawatir banget sama lo."
"Terus kalo emang Mama khawatir terus peduli sama gue, kenapa gak dia aja yang bujuk gue ke dokter? Kenapa harus lo?"
Sebanyak mungkin, Alfi menghimpun udara dalam paru-parunya. Lantas mengembuskannya dalam sekali hela. Ia paham dengan perasaan Alwin. Jarak yang tercipta antara Alwin dan orangtuanya memang sudah cukup jauh. Wajar jika Alwin berpikir demikian. Tapi, Alfi juga tahu kalau orangtuanya masih menyimpan peduli pada Alwin. Tidak secuek yang Alwin pikir.
KAMU SEDANG MEMBACA
DISARRAY (RETAK)
Teen FictionAbil Naufal tahu kalau hidupnya tidak diinginkan. Bagaimana ia ditinggal sendiri dengan dalih agar hidup mandiri, menjadi bukti kalau keluarganya tidak menginginkan kehadirannya. Kendati begitu, Abil punya banyak sahabat yang selalu menjadi alasan i...