GERAKAN tangan Abil terhenti seketika. Lagi, cairan itu meluncur bebas. Merah kental mengotori halaman buku yang sejak dua jam ini menemaninya. Abil tidak tahu nasib laptop kesayangannya di ruang seni saat ini. Sebab itu ia terpaksa menggarap ulang konsep acara di buku.
Abil masih memikirkan acara yang lebih sederhana, tapi bisa memberikan kesan mendalam. Acara yang bisa sukses hanya dengan latihan sebentar.
Abil tahu kalau ia salah. Benar, ia tak kompeten. Ia terlalu memikirkan hubungan persahabatannya sementara tugasnya sebagai ketua seni sempat ia hiraukan. Tapi, bukan berarti Yuda boleh menyudutkannya seperti tadi. Setidaknya, ia sudah berusaha untuk bertanggung jawab. Tapi, tak seorang pun yang menghargai usahanya padahal ia sudah membuat konsep acara semalaman hingga waktu istirahatnya tersita.
Gue kecapean deh kayaknya.
Padahal, baru tiga jam yang lalu Abil melihat bagaimana paniknya keempat teman perempuannya. Hampir satu jam penuh mimisannya tak mau berhenti. Baru setelah Metta membantu mengompres hidungnya dengan air es, epistaksis itu berhenti.
"Kalo mimisan jangan dongak, Bil. Lo duduk tegak terus pencet cuping hidung lo. Kalo sepuluh menit belum berhenti coba kompres pake air dingin."
Petuah Metta masih Abil ingat betul. Sekarang, ia sedang berusaha mengikuti saran Metta tadi. Toh, tadi juga usaha Metta cukup berhasil, meski agak lama.
Setelah sepuluh menit berlangsung dan tak membuahkan hasil, Abil segera bangkit. Pusing seketika menghampiri. Terseok ia berjalan keluar kamar. Sambil berusaha meraih apa pun yang ada disekitarnya guna dijadikan tumpuan, sementara ia biarkan saja darah di hidungnya mengalir dan mengotori lantai. Abil melangkah menuju tempat di mana satu-satunya orang selain dirinya berada di rumah ini.
"Bibi..." Abil membuka pintu ruangan. Suaranya parau terdengar.
"Astaghfirullah!" Tak ayal, Rani panik bukan buatan kala netranya melihat kondisi Abil saat ini. Bergegas ia menghampiri majikannya itu, meninggalkan pakaian yang hendak dimasukkannya ke tabung pembilas. "Kamu kenapa?"
"Ini gak mau berhenti masa. Tolong dong, Bi." Sebenarnya Abil tak ingin merepotkan Rani atau siapa pun. Tapi, ia sadar kalau tubuhnya benar-benar tidak bisa mengatasi sakitnya sendiri. Ia butuh bantuan. Beruntung Rani masih berada di rumah ini. Biasanya, lewat jam delapan malam wanita itu sudah pulang.
"Kita ke rumah sakit aja ya?" Pasalnya kondisi Abil benar-benar mengkhawatirkan. Dan ia tidak bisa berbuat lebih.
Vertigo yang tiba-tiba mendera, juga lemas yang kian mengikis sadarnya memaksa Abil mengangguk pada akhirnya. Apa pun itu, Abil hanya ingin penderitanya saat ini segera berakhir.
"Kamu duduk dulu. Bibi mau cari bantuan." Rani membantu Abil untuk duduk di kursi terdekat, lantas berlalu guna mengambil ponselnya yang ia tinggal di ruang tengah.
KAMU SEDANG MEMBACA
DISARRAY (RETAK)
Teen FictionAbil Naufal tahu kalau hidupnya tidak diinginkan. Bagaimana ia ditinggal sendiri dengan dalih agar hidup mandiri, menjadi bukti kalau keluarganya tidak menginginkan kehadirannya. Kendati begitu, Abil punya banyak sahabat yang selalu menjadi alasan i...