Abil Naufal tahu kalau hidupnya tidak diinginkan. Bagaimana ia ditinggal sendiri dengan dalih agar hidup mandiri, menjadi bukti kalau keluarganya tidak menginginkan kehadirannya. Kendati begitu, Abil punya banyak sahabat yang selalu menjadi alasan i...
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
SETELAH kejadian waktu itu, Abil tahu kalau semuanya mulai tak seimbang. Mulai tak berjalan dengan semestinya. Selain Jihan dan Hilal, semuanya berubah. Saat berpapasan tak pernah ada lagi tegur sapa antara mereka. Persahabatan mereka hanya menyisakan kecanggungan kini.
Entah sefatal apa kesalahannya, Abil merasa kalau tak hanya Sira dan Pandu. Alwin, Aisya, bahkan Metta pun jadi terlihat berbeda padanya. Mungkin hanya perasaan, tetapi Abil sadar kalau kekacauan ini memang karena kesalahannya. Persahabatan yang sempat Abil jaga dan ia perjuangkan untuk tetap berdiri kokoh, justru ia sendiri yang menghancurkannya.
Abil menjambak rambutnya frustasi. Tak hanya sebab nilai ulangan mata pelajaran terakhirnya yang tak yakin sempurna, juga rasa bersalah kian menghimpit dadanya dengan brutal. Tak hanya ujian akhir sekolahnya yang terasa lebih berat, cobaan yang menimpanya pun terasa jauh lebih dahsyat.
Karena kini Abil sadar, sahabat-sahabatnya yang selama ini menjadi satu-satunya alasan ia terus bertahan, tak lagi memberi asa. Tak lagi menjadi penyemangat kala dera ujian hidup semakin membabi buta.
"Kenapa? Sakit?" Jihan berdiri di samping meja Abil. Selama ujian, meski masih di kelas yang sama, tapi posisi bangkunya tak berada di dekat Abil.
"Gue kayaknya harus minta maaf sama Sira dan yang lain." Abil berhenti menjambak rambutnya. Berganti menatap Jihan yang kini tengah membantu ia membereskan alat-alat tulisnya. Raut gadis itu langsung berubah seketika saat kalimat itu lepas dari mulutnya.
"Minta maaf apa lagi sih, Bil? Lo itu gak salah. Lagian kan dari awal lo udah minta maaf, tapi emang Sira-nya aja yang gak mau maafin lo." Jihan bersungut-sungut. Kesal dengan makhluk satu di dekatnya saat ini.
"Tapi gue ngerasa gak nyaman sama situasi kayak gini," tutur Abil. Kegetiran jelas nampak di raut pucatnya.
Jihan mendengus. Ia pun sama seperti Abil. Situasi canggung seperti sekarang sungguh membuatnya tak nyaman. Tapi, melihat Abil terpojok seperti saat ini juga tak bisa Jihan terima. Abil tak sepenuhnya salah, tapi laki-laki itu dianggap sebagai antagonis yang sudah mengacaukan persahabatan mereka.
"Gak usah terlalu dipikirin. Gue--"
"Alwin?"
Kalimat Jihan terpotong lantaran mendadak Abil menyebut nama itu, selagi beranjak dari tempat duduknya guna mengejar seseorang yang baru saja melintas di depan kelas mereka. Dengusan kasar Jihan mengudara. Sambil menghentakkan kaki kesal, ia berlari menyusul Abil.
"Alwin!" Saat berusaha mengejar Alwin yang beberapa meter jauh berada di depannya, Abil meringis kala rasa sakit menusuk area perutnya.
Ah, sejak perkelahiannya dengan Pandu dan ia mendapat tinju di bagian perut, area itu jadi sering terasa sakit. Kadang sampai mual dan muntah. Bahkan saat dibawa berlari kecil seperti sekarang pun sakitnya sangat menyiksa.