15 | Tragedi Memalukan dan Vonis Menyakitkan

3.5K 280 20
                                    

Bising

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Bising. Kontras dengan sepasang remaja yang sedari tadi hanya membungkam diri. Car free day yang mereka datangi cukup ramai dari biasanya. Kendati cakap-cakap para peserta begitu ramai, tetapi tak lantas dapat memecah lamunan laki-laki itu.

“Huss! Jangan ngelamun terus, Pan! Nanti nabrak orang.” Aisya, gadis di sebelah Pandu sudah kerap mengingatkan. Namun, laki-laki yang jauh lebih tinggi dari Aisya Muthi itu hanya mengangguk, menggumam, tanpa mengindahkan apa yang dikatakannya.

Bukan kali pertama Pandu melihat pemandangan yang tersaji di hadapannya sebelum ia kemari. Saat lagi-lagi sang ayah pulang dalam kondisi mabuk. Belum lagi mengamuk pada ibunya tanpa alasan jelas. Beruntunglah, pagi-pagi sekali Aisya datang. Memberikannya alasan untuk menghindari keributan yang terjadi hampir setiap hari.

“Btw, kita CFD-an kok diam-diaman aja ya, Pan?” Kali ini Aisya melepas earphone-nya. Membuat lagu Love Shot yang baru diputarnya tak lagi terdengar. Sebenarnya, sudah sedari tadi ia memendam kesal lantaran Pandu tak menganggap kehadirannya. Laki-laki itu memang jelas-jelas berada di sampingnya. Berjalan bersisian dengannya, tetapi entah ke mana pergi jalan pikirannya.

“Ya, kan biasanya juga lo yang banyak omong.” Pandu kali ini menyahut.

Gadis yang hanya setinggi bahu Pandu itu menghela napas lelah. “Lah, dari tadi gue ngomong, lo enggak dengar?”

“Ngomong apa emang?”

“Lupain.” Aisya memberengut. Dan, Pandu lagi-lagi hanya mengangguk. Enggak peka! Pikirnya. Terus gimana gue mulai ngomong apa yang Abil minta?

“Hm ... Pan ...” Gadis imut itu kembali bersuara.

“Apa?” Pandu menyahut seperlunya.

“Anu ... itu tentang ...” Aish! Aisya mengumpat dalam batinnya. Mengapa begitu sulit kata-kata yang telah semalam ia rangkai untuk keluar? Belum lagi raut Pandu yang tampak tak bersahabat pagi ini. Jujur, ia takut salah bicara dan malah memperumit keadaan yang ada.

“Lo mau ngomong apa, sih?” Pandu mulai tak sabar.

“Acara akhir tahun!” Bodoh! Ingin Aisya menepuk dahinya. Mengapa malah topik itu yang spontan keluar dari bibirnya?

“Belum bisa ngajuin proposal. Soalnya, konsepnya masih di Abil. Kita belum bisa buat anggaran yang tepat buat diajuin ke sekolah.”

Berganti Aisya yang mengangguk.

Hening lagi. Aisya menunduk, memandang sepatu soft blue-nya selagi meremas jemari. Hingga gadis itu menghentikan langkahnya saat tubuhnya menghantam sesuatu. Ia mendongak. Tak tahu sejak kapan Pandu menghentikan langkah tepat di depannya. “Pan, lo ngapain tiba-tiba berhen—” Kalimat Aisya terputus saat mendapati wajah Pandu yang mengeras. Pandangan lelaki itu terarah lurus ke depan.

Terlalu mudah untuk Pandu kenali pemilik punggung lebar di hadapannya. Dan, gadis di samping lelaki yang dipandanginya itu, ia yakin betul jika itu bukan Maretta. Namun, sebuah lengan melingkar di bahu gadis bersurai tergerai. Sontak membuat emosi Pandu semakin menjadi-jadi. Pagi tadi, ia sudah kembali menyaksikan perlakuan kasar sang ayah kepada ibunya. Tidak selang lama, kini ia dihadiahi pemandangan tak kalah luar biasa.

DISARRAY (RETAK)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang