"OBAT lo abis, Bil."
Mata Abil menyipit. Mencari kesungguhan di balik mata gelap Hilal. Ekspresi Hilal terlalu datar, terlalu sulit untuk Abil menebak laki-laki itu berbohong atau tidak. Tapi, sakit yang mendera membuat Abil tak ada kesempatan bahkan hanya sekadar untuk mengingat-ingat kalau obatnya masih banyak atau tidak.
"Lo kuat!" Hilal mengambil tempat di sisi Abil. Merangkul tubuh itu. "Lawan! Gue tau lo bisa!" Melihat kondisi Abil, Hilal paham apa yang dialami Abil. Terlalu paham malah.
Debaran hebat dalam dada, membuat Abil tak bisa menangkap suara Hilal dengan jelas. Abil hanya merasa dadanya begitu penuh dan sesak. Seperti ada tangan yang terus menarik tubuhnya jauh dan jauh ke dalam air. Sama seperti kejadian empat tahun silam.
"Sadar, Abil. Kuasai diri lo!" Hilal mengguncang bahu Abil. Berusaha membawa pikiran Abil yang berkelana jauh ke persimpangan masa silam. "Lo baik-baik aja, Bil. Lo gak apa-apa." Sengaja Hilal tangkupkan kedua tangannya di kedua pipi Abil, memaksa sosok itu untuk fokus menatapnya.
Butuh beberapa menit untuk menyadarkan Abil. Membawa sosok itu kembali ke dunianya. Saat kesadaran Abil perlahan kembali, Hilal menuntun Abil untuk bernapas pelan-pelan. Lantas setelah semuanya terasa mulai membaik, didekapnya tubuh itu dengan erat.
Kesedihan jelas tergurat di wajah Hilal. Tak pernah sedikitpun ia berpikir hidup Abil akan semenyedihkan ini. Setelah sekian tahun berlalu, ia pikir Abil bahagia dengan hidupnya. Toh, di sekolah laki-laki itu selalu terlihat baik-baik saja. Tapi, pada kenyataannya ada sesuatu yang jauh lebih mengerikan dari sekedar vonis penyakit mematikan yang diterima sosok itu beberapa hari ke belakang.
Lo PTSD kan, Bil? Kenapa gue gak bisa lebih peka padahal gue pernah mengalaminya?
"Hilal...." Masih dengan napas yang masih sedikit terengah, Abil memanggil nama itu lirih. Pelukan yang kini melingkari tubuhnya begitu mirip dengan pelukan empat tahun yang lalu.
"Harusnya gue dateng lebih awal." Nada sesal kentara sekali terdengar dari suara berat Hilal. Dibawanya tubuh ringkih Abil semakin dalam dalam dekapannya. Demi semua hal yang ia miliki, ia berjanji tidak akan mengizinkan siapa pun melukai sosok itu lagi. Dengan apa pun, ia akan melindungi, menjaganya.
"Hilal, lo orang itu kan? Lo orang yang udah nyelamatin gue waktu itu kan?"
Samar, Hilal menggangguk.
"Tapi, kenapa?" Seingat Abil, sedikit pun, selama hidupnya ia tidak pernah menyimpan memori apa pun tentang Hilal. Karena yang Abil tahu Hilal itu adik kelasnya yang beberapa bulan ke belakang, datang ke ruang seni. Mendaftarkan diri untuk menjadi bagian dari ekskul yang ia pegang. Kemudian, sosok itu diam-diam mencuri perhatiannya dengan melimpahinya perhatian, yang sayangnya secuil pun tak pernah membuat Abil curiga. Kalau sebernarnya Hilal itu ...
"Karena gue kakak lo, Abil."
... tidak mungkin melakukan banyak hal untuknya jika ia bukan siapa-siapa.
Publikasi, 02 Maret 2020
Revisi, 22 Juni 2021Yang pelit vomen, kalo jempolnya ilang jangan salahin gue ya? —Hilal
KAMU SEDANG MEMBACA
DISARRAY (RETAK)
Teen FictionAbil Naufal tahu kalau hidupnya tidak diinginkan. Bagaimana ia ditinggal sendiri dengan dalih agar hidup mandiri, menjadi bukti kalau keluarganya tidak menginginkan kehadirannya. Kendati begitu, Abil punya banyak sahabat yang selalu menjadi alasan i...