"DOKTER bilang, karena belum ada tindakan medis yang bisa dilakukan, jadi hanya terapi obat sama transfusi trombosit yang bisa dijalani. Tiap dua Minggu sekali, Abil harus ke rumah sakit. Kita ambil hari Sabtu atau Minggu aja ya? Pas Abil libur sekolah."
"Bi, kemarin Hilal bilang kalau dia itu kakaknya Abil." Abil mengubah posisinya menjadi duduk. Tak benar-benar peduli dengan apa yang Rani bicarakan. Sejak awal, ia tidak ingin terlalu memikirkan penyakit yang bersarang dalam tubuhnya kini. Justru yang lebih membuatnya terganggu adalah kata-kata Hilal kemarin. Sebenarnya berulang kali ia sudah menanyakan kepastian itu pada Hilal, tapi laki-laki itu urung buka suara.
"Abil gak ngerti loh, Bi. Hilal itu adik kelas Abil. Masa iya dia ngaku kakaknya Abil sih?"
Rani mengulas senyum. Raut bingung campur penasaran yang tergurat di wajah pucat Abil agak membuat gemas. "Abil seneng punya kakak?" tanyanya.
Abil menggeleng. "Abil belum percaya kalau Hilal itu kakaknya Abil. Dia lebih imut dari Abil, harusnya Abil yang jadi kakaknya."
Rani terkekeh. "Udah, udah. Istirahat aja ya?"
"Hilal bilang, Bibi itu ibunya Hilal. Kalau kita saudara, berarti bibi itu ibunya Abil juga kan?"
"Abil..."
"Kemarin Abil udah maksa Hilal buat cerita, tapi dia bilang, penulis harus bayar mahal dulu kalau dia dapet banyak dialog. Konyol banget kan?"
Kontan saja Rani tertawa, selagi tangannya menuntun Abil untuk kembali berbaring. Ia tahu sedari tadi Abil tengah menahan pusing, juga mungkin nyeri di titik tertentu tubuhnya. Semalam karena demam Abil tak bisa tidur pulas, harusnya pagi ini laki-laki dengan kaos putih polos itu mengistirahatkan diri.
"Bi, cerita dong!" Rengek Abil. Menarik tangan Rani yang terasa halus kendati sosok itu begitu sering melakukan banyak pekerjaan.
Rani tak langsung menanggapi. Lembut, dielusnya rambut Abil. Selagi sebagian jiwanya melayang, melanglang buana ke kejadian bertahun lalu lamanya. Entah kenapa, harus ada momen di mana ia mesti mengulang dan mengingat kembali kejadian yang sebenarnya begitu ingin dilupakannya.
"Sebenarnya, Hilal itu...."
Anak itu terlalu kecil. Lemah. Polos tanpa dosa. Tangisnya yang harusnya membuat haru, tak lantas membuat kedua orang dewasa itu luluh. Alasan kenapa bayi mungil itu harus terlahir membuat mereka bersikeras ingin membuangnya. Padahal ia masih harus diberi ASI. Harus merasakan dekap hangat seorang ibu. Dipeluk. Dimanja. Dihadiahi berpuluh ciuman.
Hilal adalah anak yang tidak diharapkan kelahirannya. Tapi, si ibu tak tega menghabisi nyawanya saat masih di dalam kandungan. Satu-satunya alasan kuat yang membuat wanita itu memaksa seseorang yang telah berkeluarga kemudian mengambil tanggung jawab untuk menutupi aib yang ada.
Mungkin memang benar, Hilal adalah anak dari seseorang yang tidak bertanggung jawab. Yang tega merebut kehormatan seorang wanita. Yang membuat keharmonisan sebuah keluarga nyaris berantakan. Tapi, hati nurani Rani tidak lantas setuju dengan keputusan yang ada. Bukankah, tindakan mereka tak kalah kejam dengan penjahat yang telah merebut paksa kesucian si wanita.
KAMU SEDANG MEMBACA
DISARRAY (RETAK)
Teen FictionAbil Naufal tahu kalau hidupnya tidak diinginkan. Bagaimana ia ditinggal sendiri dengan dalih agar hidup mandiri, menjadi bukti kalau keluarganya tidak menginginkan kehadirannya. Kendati begitu, Abil punya banyak sahabat yang selalu menjadi alasan i...