Abil Naufal tahu kalau hidupnya tidak diinginkan. Bagaimana ia ditinggal sendiri dengan dalih agar hidup mandiri, menjadi bukti kalau keluarganya tidak menginginkan kehadirannya. Kendati begitu, Abil punya banyak sahabat yang selalu menjadi alasan i...
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
DENGAN langkah lebar, Jihan berjalan memasuki rumah Abil yang tak terkunci. Rasa khawatir menggedor-gedor dadanya dengan keras. Sangat keras sehingga Jihan tak berpikir apa pun selain ingin cepat-cepat melihat sosok laki-laki yang paling disayanginya itu.
Hela napas lega kontan berembus panjang dari mulut Jihan kala netranya menangkap sosok itu tengah meringkuk di atas sofa, tertidur dengan begitu pulasnya sementara televisi dibiarkan menyala begitu saja. Kebiasaan Abil untuk sekadar mengusir sepi di sekitarnya.
Jihan menaruh rantang di atas meja dan mengecilkan volume televisi sebelum mengecek suhu badan Abil. Perasaannya sedikit tenang kala melihat satu botol obat beserta gelas berisi air putih yang nyaris tandas berada di atas meja.
Masih panas, tapi dia udah minum obat kayaknya, pikir Jihan demikian. Lantas ia segera bangkit dan melangkah menuju dapur. Berniat untuk memanaskan makanan yang dibawanya sebelum membangunkan Abil untuk makan.
"Loh, kok?" Langkah Jihan terhenti di ambang pintu dapur. Matanya baru saja menangkap hal ganjil di rumah itu. Ia melihat pintu yang mengarah ke halaman belakang terbuka dengan lebar. Entah apa alasannya, seingat Jihan Abil tidak pernah membiarkan pintu itu terbuka.
Jihan tahu alasan kenapa Abil selalu mengunci rapat pintu halaman belakang itu. Sebab, tak hanya bagi Abil, tempat itu pun menjadi kenangan paling buruk untuk dirinya.
"Jihan? Tolong tutup dan kunci pintunya."
Jihan membalikkan badan seketika tepat ketika suara itu berlabuh di telinga. Abil tengah berdiri jauh di hadapannya saat ini. Matanya yang sayu tampak memandang Jihan dengan lelah. Laki-laki itu begitu pucat dan lemas, membuat Jihan buru-buru kembali menutup serta mengunci pintu itu sebelum melangkah mendekat ke arah Abil.
"Lo udah bangun? Gue baru mau panasin makanan ini buat lo." Jihan menunjukkan rantang yang tengah ia jinjing.
"Nanti aja, gue belum laper." Abil meraih tangan Jihan dan menarik gadis itu untuk kembali duduk di atas sofa. Bukan belum lapar, hanya saja perutnya terasa enek dan mual. Percuma, nanti makanan yang Jihan bawa hanya akan berakhir mengenaskan di atas wastafel jika ia memaksa memakannya.
Jihan tak melakukan protes apa pun. Hanya mengikuti langkah Abil dalam diam. Rasanya tak tega melihat wajah lesu Abil saat ini. Laki-laki itu, benar-benar terlihat sakit.
"Abil, pintu itu kenap—"
"Gue seneng."
Jihan mengernyit. "Seneng? Seneng kenapa?"
"Gue kira lo marah gara-gara gue kemarin nganterin Metta pulang dan biarin lo pulang sendiri. Gue seneng lo dateng dan masih peduli sama gue."
Gue gak bisa marah lama-lama sama lo, Bil. Jihan membatin sedih. Memang, Abil selalu bisa membuat hatinya luluh. Lemah. "Alwin telepon gue katanya lo sama dia janji ketemuan, tapi lo gak dateng."