Abil Naufal tahu kalau hidupnya tidak diinginkan. Bagaimana ia ditinggal sendiri dengan dalih agar hidup mandiri, menjadi bukti kalau keluarganya tidak menginginkan kehadirannya. Kendati begitu, Abil punya banyak sahabat yang selalu menjadi alasan i...
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
"ABIL?" Alfi sedikit tersentak saat mendapati laki-laki itu berdiri di ambang pintu. Ia kira, sang adik baru saja pulang sekolah dan dengan manja meminta dibukakan pintu, padahal tak ia kuci. Namun, sosok Abil-lah yang ditemuinya. Dengan seorang gadis di belakangnya. "Cari Alwin?" tanyanya kemudian.
"Hm ... bukan juga, sih. Mau main aja." Kedua sudut bibir Abil terangkat pelan. Entah mengapa sedikit kaku bertemu Alfi setelah sekian lama tak berjumpa.
"Sini, masuk!" Alfi menggeser tubuhnya. Memberi ruang untuk kedua tamunya. "Sama Jihan juga, ya?"
"Iya, Kak." Jihan tersenyum. "Alwin belum pulang?" tanyanya selagi mengikuti tuntunan tuan rumah menuju sofa di ruang tamu.
"Belum. Bandel banget emang itu anak. Baru sehari sekolah, tapi udah bilang mau pulang telat."
Jihan hanya mengangguk. Mengambil sisi kosong di sebelah Abil yang sudah terlebih dahulu mendudukkan tubuh.
Hening sesaat sebelum Alfi berpamit mengambilkan minum. Namun, langkah anak sulung Adinata itu terhenti kala rendah suara Abil terdengar.
"Om Gilang ada, Kak?"
"Papa? Kebetulan baru pulang. Naik aja kalau mau ketemu. Di ruang kerja paling." Melihat Abil yang masih duduk di tempat, membuat gadis itu terkekeh ringan. "Kayak sama siapa aja, sih, Bil? Jadi canggung gini. Padahal juga dulunya sering bareng. Apa gue yang panggil Papa buat turun nih?"
Abil menggeleng. Tak enak hati pula membiarkan Gilang yang datang menemuinya. Lagi pun, alasannya tetap diam di tempat bukan karena canggung yang Alfi katakan. Hanya ia kembali ragu jika harus menemui Gilang. Apa tak berlebihan? Namun, bagaimanapun, Abil ingin segera membunuh semua bayang yang menghantuinya. Setidaknya, sedikit saja ia ingin tenang. Agar selepasnya dapat fokus pada pengobatan fisik.
Abil bangkit berdiri. "Titip Jihan, ya Kak? Kadang galak, tapi enggak sampai gigit kok."
Dengusan dari Jihan yang terakhir kali Abil dapat sebelum berlalu. Laki-laki bertubuh tinggi itu mengambil langkah menuju lantai atas. Berdiri di depan pintu yang diyakininya, di dalam sana Gilang berada. Sekali ia mengetuk dan instruksi untuk masuk langsung ia dapat. Abil berdiri di ambang pintu, usai membukanya. Mendapati raut tak biasa Gilang yang diarahkan padanya.
Gilang menghentikan aktivitasnya saat tubuh jangkung Abil berada tak jauh darinya. Kulit putih pucat sosok itu, tampak lebih pucat dari terakhir yang ia lihat. Ditambah jaket putih yang membalut Abil terlihat lebih besar atau memang si empunya yang kehilangan bobot badan. "Abil? Duduk, Bil!"
Abil menurut tatkala Gilang menuntun mereka duduk di sebuah sofa di sana. Tempat yang terkesan lebih santai untuk berbicara.
"Gimana kabarnya, Bil? Jadi agak kurusan. Lagi sakit?" Kendati Gilang dapat membaca apa yang Abil sembunyikan, tapi kata-kata itu pada akhirnya dipilih sebagai pembuka. Memang, Abil sudah menghubunginya untuk meminta temu pagi tadi. Namun, baru sore ini ia dapat memenuhi janji. Tempat praktiknya akhir-akhir ini selalu ramai. Bahkan seharusnya, jika Abil tak bilang hendak datang, ia belum akan pulang.