Epilog

325 50 32
                                    

Di akhir sebuah perjalanan, kadang ada suatu hal yang tak pernah terduga. Bahkan, jerat menyakitkan yang dulu membelenggu. Bisa saja menjadi sebuah bibit kebahagiaan. Hanya saja, rasa sakit itu akan kembali seiring bibit itu tumbuh.

Sama halnya dengan takdir. Satu kata kecil yang begitu berarti bagi seluruh makhluk yang ada di alam semesta ini. Dengan adanya perintah Sang Kuasa. Takdir yang dibuat, tentunya akan ia akhiri dengan kebahagiaan.

Bahkan kematian, kepergian sekalipun, bukan berarti akhir yang menyakitkan. Karena pada dasarnya, semua hal itu kembali untuk kebaikan yang sesungguhnya. Kebahagiaan yang seharusnya.

Lantas, apakah kita harus berserah diri begitu saja pada takdir?

Karena selama hidup menjadi manusia, kita masih diberikan pilihan.

Seorang gadis menutup laptopnya setelah kalimat terakhir itu ia beri tanda titik. Rasanya lega begitu melihat naskahnya selesai lagi. Ah, ini juga bisa dinamakan takdir. Rasanya, terlalu banyak takdir yang mengikat. Tapi pada akhirnya...

“Ya,” panggil seseorang dari pintu kelas.

Cowok itu ... ah, entah punya status apa dengannya. Tapi yang ia tahu, saat orang itu menyebut namanya, dadanya jadi terasa hangat. Ada suatu luapan menggelikan yang membuatnya terseny—tidak, ia malah memasang tampang jengkel.

“Bagi minum,” katanya diiringi tatapan penuh pujaan para gadis yang ada di kelas ini. Oke, mereka tak ada di kelas yang sama seperti dulu. Lagi pula ia bosan bertemu dengannya terus—oke, itu bohong.

“Ga ada, abis.”

Tak berpikir minta izin atau apa, cowok itu langsung menggeledah isi tasnya―oke, ini berlebihan. Ia hanya mengambil botol minum yang ada di tas milik gadis itu.

“Sinting! Balikin!”

Iya, itu Erza. Cowok super cuek yang amat menjengkelkan dan tak punya teman di kelasnya tahun lalu mendadak jadi cowok super supel yang sekarang punya kebiasaan merusuh di lapangan basket meskipun ia bukan anggotanya. Di sisi lain, cara bicaranya masih menyebalkan.

“Gue ganti satu galon di rumah,” kata Erza sambil berlari menjauh dan tentunya membawa botol itu. “3000 depan komplek, oke? Gue yang bayarin tapi Lo angkat sendiri. Bye!”

Ia ingin sekali mengejarnya―walau itu terkesan menjijikan. Di sisi lain laptopnya masih tergeletak begitu saja di ataa meja.

Benar-benar menyebalkan. Gadis itu tahu. Tahu setelah ada sebuah kepingan memori yang menelusup lembut dalam diri mereka sejak hari itu.

Hari di mana...

Sebuah perpisahan tanpa ucapan selamat tinggal.

... Terpatahkan. Patah setelah mereka bisa mengingat kembali hal yang sebelumnya tak bisa mereka relakan. Hingga akhirnya, selamat tinggal dalam hati telah berbunyi. Mereka melepaskannya, bersamaan dengan beberapa memori yang terjadi.

Dan gadis itu ... Ya untuk Aya. Orang-orang menganggapnya sebagai kekasih Erza.

Walau akhirnya, mereka tak punya status lain selain....

Pasangan takdir.

***

8 Juni 2018
00:25 WIB

BIG LOVE, NARI💕💕

Love Life a Reincarnation Couple [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang