RE 19: Forbidden Memories

238 43 20
                                    

"Ma, kenapa jawabannya bikin Erza sakit, Ma?"

Erza menekan dadanya kuat-kuat. Seolah dengan melakukan itu rasa sesaknya akan menghilang. Tapi, kenyataannya tidak seperti itu. Dadanya sesak tak tertahankan. Ini benar-benar menyakitkan.

Pikirannya sekarang terbang pada kejadian-kejadian yang berlalu. Terlebih saat Aya menangis di hadapannya saat pertama kali benda yang tak seharusnya ia miliki melekat di punggungnya. Apa ini ketakutan yang selama ini gadis itu pendam? Ketakutan yang seharusnya hanya menyakiti dirinya. Kenapa menyakiti orang lain juga?

"Kalau kayak gini, kenapa ... bukan kematian balasannya?"

Pikiran-pikiran buruk kini saling berbenturan. Melayang menusuk jauh ke dalam lubuk hatinya. Sehina itukah dirinya sampai-sampai mencintai sosok terlarang itu? Untuk apa ia hidup kalau begini?

"Liat lo yang sekarang, Za!" katanya pada diri sendiri.

Ia menunjuk sosok yang tengah tersenyum di depan banyak makhluk-makhluk itu. Ia tahu kalau sosok itu tengah meragu. Tapi kenapa memutuskan sebuah sumpah gila itu di atas kebimbangan.

"Harusnya lo nggak kayak gitu dulu! Harusnya lo―"

Tubuhnya memanas, ini di luar kendalinya. Kini terasa melayang. Ia tak bisa merasakan apapun lagi. Udara, ia butuh udara. Sungguh, beberapa waktu lalu ia mengatakan kematian. Tapi ia butuh udara saat ini, ia harus menebus seluruh dosanga. Ia harus―terlelap dan menghilang dari dunia.

***

"Za, bangun!" samar-samar terdengar suara. Tapi ia tak bisa melihat apapun, masih gelap.

"Nat, panggil dokter, Nat!" suara yang sama masih terdengar.

"Len, Erza gak papa." Terdengar suara lainnya yang menenangkan. Keduanya amat familiar. "Aku ambil air dulu ke bawah."

Kini, cahaya perlahan masuk melalui sela-sela matanya. Membuat objek yang ada di hadapannya semakin jelas. Tak terlalu jelas, ada sesuatu menghalangi pandangannya. Erza tahu itu.

Air mata.

Sampai ... jantungnya menyentak kuat kala melihat sosok yang ada di hadapannya.

Deg

Sial.

"Za, kamu gak papa, kan?"

Suara itu ... kenapa berubah? Suaranya berubah. Suara mama, kenapa suara mama berubah? Kenapa ... demi apapun, kenapa yang ada di hadapannya sekarang bukan mama. Kenapa yang ada di hadapannya sekarang malah seorang gadis dengan seragam SMA.

Erza menggeleng kencang. Ia tahu sosok itu siapa. Demi apapun, ia benci dengan fantasi liarnya. Kenapa sosok mama harus berubah sekarang? Ini bukan masa lalu, tapi pandangannya berubah ke masa lalu. Ini ... Ya Tuhan! Jangan katakan kalau ingatannya benar-benar kembali.

"Za, kamu kenapa?"

Sosok itu perlahan mendekat, jantung Erza berdetak semakin kencang. Jangan, jangan seperti ini. Ini bukan hal yang seharusnya. Sejak dulu, jantung ini tidak boleh berdetak untuknya. Ini hal yang terlarang.

"Pergi," kata Erza dingin. Dan itu benar-benar menusuk ke dalam hati sosok yang ada di hadapannya.

Sejujurnya Erza tak mau mengatakan ini. Ia juga tak seharusnya mengatakan hal yang menyakiti mamanya. Meskipun dalam bayangannya saat ini, ia bukanlah mamanya. Tapi tetap saja.

"E―Erza, Mama salah apa?" suara itu terdengar bergetar.

Ma, Erza mohon untuk sekarang aja! Ini nyakitin Erza, Ma! Rasanya ingin meneriakkan hal itu.

"Pergi, Ma!" Lagi, dengan terpaksa Erza mengucapkan kata-kata itu. Anak yang sungguh kurang ajar.

"Za ... kamu bisa cerita pelan-pelan, kan? Mama bisa minta ma―"

"Nggak, Ma! Bukan itu yang Erza mau! Erza cuma butuh mama pergi sekarang!"

Sosok di hadapannya mulai terisak. Memori-memori yang sebelumnya terkubur telah bangkit kembali. Memori yang amat menyakitkan. Sungguh, kenapa hidupnya sepelik ini?

Erza mohon, Ma. Mama gak boleh nangis, Erza minta maaf, Ma. Erza cuma gak mau nyakitin mama gara-gara perasaan Erza di masa lalu yang sekarang seolah bangkit lagi.

"Erz―"

Erza sudah tak kuat lagi melihat air mata yang mulai mengalir di pipi sosok yang ada di hadapannya. Dengan amat sangat terpaksa ia mendorong sosok yang dalam penglihatannya tetap seperti gadis SMA walau kenyataannya tidak.

"Mama harus pergi, biarin Erza sendiri dulu, Ma!"

"Tapi Za―"

"Buat kali ini aja, Ma!" Sekali hentakan, Hellen sudah ada di luar kamar puteranya. Terduduk lesu di balik pintu sambil menenggelamkan wajahnya di antara kedua lututnya. Sudah lama ia tak menangis sampai seperti ini.

Sesak, demi apapun ini menyakitkan. Ia tak tahu apa yang terjadi pada puteranya sampai-sampai hal ini terjadi. Dadanya seolah tak bisa menarik napas lebih dalam lagi. Di sisi lain, ia sadar kalau puteranya merasakan sesak yang lebih lagi dari dirinya. Sayangnya ia tak tahu apa alasannya. Juga, kenapa di saat seperti ini, ia tak bisa berada di sisinya?

Sementara di belakang pintu, Erza berulang kali mengucap maaf sambil menahan air matanya yang terus menerus berjatuhan. Rasa sakit yang dulu ada, kini terlahir kembali.

***

Bogor, 17 Desember 2017
After rain

Setelah sekian lama, ya? Maaf kalau ini mengecewakan dan gak dapet feel-nya. Semoga suka dan masih ada yang nunggu. Mata na~

Regards

Nari

Love Life a Reincarnation Couple [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang