Gera menatap rumah di hadapannya. Ada rasa ragu untuk memasuki ke area rumah itu. Gera menghela napasnya yang entah bagaimana begitu terasa berat. Gera sudah merenung selama dua hari, hingga meyakinkan dirinya untuk meminta maaf pada Novi.
Dengan ragu, Gera melangkah ke teras rumah Novi, lalu lelaki itu mengetuk pintu sebanyak tiga kali. Tanpa menunggu lama, pintu terbuka dan menampilkan sosok seorang pria yang usianya satu tahun lebih tua dari Gera.
Terjadi keheningan sejenak, sebelum Artha angkat bicara, "Masuk, Ger!"
Gera mengangguk, lalu masuk dan mengikuti Artha. Artha mengajak Gera duduk di ruang tamu. Gera hanya diam dan tak mengutarakan maksud kedatangannya kali ini. Artha menatap Gera yang sedang tampak berpikir dengan seksama, Artha juga berpikir sejenak apakah dia akan bertanya semua yang ada dipikirannya kepada Gera.
"Ger, ikut gue! We need talk."
Gera mengangguk. Dia paham, Artha pasti akan berbicara sesuatu yang penting padanya. Mereka berjalan menuju ke halaman belakang rumah. Lalu keduanya duduk di bangku yang saling berseberangan dan bersekat meja.
Artha menatap ke depan, tepatnya ke arah pohon jeruk di belakang rumah. "Lo main tangan sama adik gue?"
Gera terkejut dengan pertanyaan Artha yang tanpa basa-basi. "Novi cerita?"
Artha tersenyum sinis tanpa mau melihat ke arah Gera. "Gue tahu sendiri, tanpa Novi cerita. Gue dengar percakapan lo dan Novi malam itu."
"Semua salah gue. Gue terlalu tempramen. Gue sering melakukan hal-hal di luar kendali gue saat berhadapan dengan Novi dengan rasa kesal. Rasa kesal, kecewa dan perasaan apa yang nggak bisa gue deskripsikan seolah menggelapkan segala akal sehat gue," jelas Gera sambil memejamkan matanya.
"Jangan pernah temui Novi lagi! Gue nggak mau adik gue kanapa-napa!" bentak Artha yang kemudian berdiri dan berniat meninggalkan Gera.
Gera tak sanggup jika harus menjauhi Novi, lelaki itu segera menghentikan langkah Artha. "Gue nggak bisa."
Artha menatap Gera dengan tajam. "Lo berbahaya buat, Novi."
"Bang, tolong! Gue nggak bisa jauh dari Novi. Gue nggak bisa!" Gera merasa frustasi hingga mengacak rambutnya.
Artha kembali duduk ke bangku yang ia duduki tadi, lalu menatap Gera dengan serius. "Buat gue yakin dan percaya bahwa lo nggak akan buat Novi dalam bahaya! Beri satu alasan agar gue izinin lo kembali berteman dengan Novi!"
Gera menghela napasnya. Lelaki itu memejamkan matanya. "Gue nggak bisa janji untuk tak membahayakan Novi, tapi gue akan selalu mencoba untuk menahan emosi gue dan melindungi Novi sebisa gue."
Artha hanya tersenyum tipis yang tak Gera tahu apa maknanya. Gera harus menceritakan segala masa lalu yang membuatnya seperti ini. Dan Gera akan berkata jujur tentang awal pertemuannya dengan Novi. Hingga mulailah mengalir cerita tentang bagaimana keluarganya hingga bertemu dengan Novi hingga saat ini.
Setelah mendengar semua penjelasan Gera, Artha mulai mengerti dan mencoba memosisikan dirinya sebagai Gera yang mengalami tekanan berat pada hidupnya. Hingga hanya ada Novi yang ada di sebelahnya, menjadi penyangga satu-satunya.
Artha bangkit dari duduknya, lalu menepuk bahu Gera pelan. "Lo harus tahu satu fakta, Ger! Novi suka sama lo."
Setelah mengatakan itu, Artha langsung melangkah meninggalkan Gera yang terdiam dan terkejut dengan perkataan Artha. Gera tak menyangka Novi menyukainya. Gera tak pantas untuk Novi. Gera selalu merasa rendah untuk Novi. Gera terlalu bejat untuk disukai bahkan dicintai oleh gadis sebaik Novi.
Gera segera menyusul Artha. Dia ingin menyampaikan sesuatu untuk menjalankan rencananya untuk meminta maaf kepada Novi setelah apa yang dia ucapkan kemarin.
Gera masuk ke dalam rumah dan menghampiri Artha yang sedang duduk menonton televisi. Gera mengutarakan semua maksudnya pada Artha yang disetujui begitu saja oleh lelaki itu.
***
Artha mengetuk pintu kamar Novi atau lebih tepatnya menggedor pintu dengan tidak santai. Hingga tak lama pintu terbuka dan menampilkan wajah sebal Novi yang ditujukan untuk Artha yang mengganggu hari Sabtu untuk bersantai.
"Apa sih, Kak?"
"Lo marah sama Gera?" tanya Artha sambil menatap Novi.
"Nggak sih, cuma kesel aja sama Gera." Novi memincingkan matanya curiga. "Kanapa lo nanya gitu?"
Artha menghela napasnya. "Tadi Gera ke sini. Nyariin lo. Dia terlihat frustasi dan banyak luka gitu." Artha menghentikan kalimatnya sejenak. "Katanya dia habis latihan tinju. Emang dia suka tinju?"
Novi melebarkan bola matanya. "Sekarang dia masih di sini atau pulang?"
"Dia di halaman belakang."
Novi mengangguk, lalu dengan langkah lebarnya, gadis itu berjalan menuruni tangga dan segara melangkah menuju ke halaman belakang. Rasa cemas dan khawatir menghantui Novi. Dia takut Gera lepas kendali lagi. Tak seharusnya Novi marah pada Gera, biar bagaimana pun, lelaki itu sangat membutuhkan Novi, dan Novi seharusnya tidak egois.
Novi membuka pintu belakang rumahnya yang tertutup. Saat pintu terbuka, hal pertama yang ia lihat adalah sosok Gera yang sedang duduk di bangku panjang di bawah pohon mangga sambil memangku gitar. Novi mengerjapkan matanya. Gadis itu melangkah mendekat ke arah Gera.
Gera tersenyum ke arah Novi yang membuat jantung gadis itu berpacu dengan kencang. Novi membeku di tempatnya. Senyum Gera benar-benar membuat Novi tak berdaya. Gera curang, dan Novi membenci dirinya yang begitu lemah hanya dengan seulas senyum.
Gera mulai menggenjreng gitarnya. Novi mengerjapkan matanya. Gera masih tersenyum sambil memainkan gitarnya. Novi tak tahu nada apa yang dibentuk oleh Gera. Novi tak tahu lagu apa.
"Novi." Gera mulai menyebut nama Novi, dan Novi paham apa yang akan dilakukan Gera.
Gera begitu pandai merangkai kata. Maka Novi yakin, Gera tidak akan menyanyi, lelaki itu pasti akan melakukan musikalisasi puisi. Novi masih terpaku di tempatnya.
"Ada ribuan hal tak aku tahu, tapi kamu seolah menjadi mata yang membuatku menjadi tahu. Ada banyak keajaiban yang tak pernah kesadari, dan kamu salah satu keajaiban terbesar itu. Nov, I don't know how many word can i tell you to say sorry. Million words not enough to describe what i feel right now. I just can say sorry for everything. I know i was wrong, cause that, once again, i want say very big sorry and please, forgive me, Nov. Mungkin ini klise dan caraku terlalu murahan untuk mendapatkan maaf yang harusnya begitu mahal." Gera menghentikan petikan pada gitarnya.
Lelaki itu menaruh gitarnya, lalu berdiri dan menghampiri Novi yang masih mematung di tempatnya. Tanpa dapat dicegah, lelaki itu sudah mendekap Novi dengan erat.
"Maaf, Nov. Gue nggak pandai merangkai kata, tapi perlu lo tahu, Nov. Gue tersiksa dengan perasaan bersalah yang begitu besar. Maybe, you can forgive me or no? But, i want you know, i honest about that all. Please tell me what your feel?"
"Ger, i just can forgive you." Hanya kata itu yang keluar dari mulut Novi, yang kemudian membalas pelukan Gera dengan sangat erat.
Air mata Novi keluar begitu saja tanpa dapat dicegah. Detak jantungnya sudah benar-benar menggila. Dalam pelukan ini, ada perasaan yang membuncah di antara keduanya. Perasaan yang tak bisa dideskripsikan hanya sekadar dengan kata. Perasaan itu terlalu besar jika hanya disebut cinta.
👣👣👣
Hai... Update lagi... Ada yang rindu Gera?
Please give me some vote and comment to this part.
Thank you, for loyal reader, always waiting for this story...😘😘
KAMU SEDANG MEMBACA
Kode (Completed)
Teen Fiction"Lo kenapa sih, selalu marah kalau gue deket sama cowok?" tanya Novi dengan marah kepada cowok di depannya. "Masih nanya?" "Lo itu sebenarnya siapa sih, selalu ngatur gue? Emang selama ini apa hubungan kita?" Novi geram dengan cowok di hadapannya...