Empat

2.9K 277 17
                                    

Ada sesuatu yang membuat Gera tak mau beranjak dari tempatnya saat ini. Dia seperti merasakan sakit dan bersalah yang luar biasa saat melihat gadis yang dijaganya harus terbaring dengan luka lebam di wajahnya karena ulah dirinya sendiri.

Lelaki itu tak sadar, ada seorang gadis yang sedari tadi memandangnya dengan rasa aneh yang menjalar. Gera benar-benar seperti melupakan keberadaannya. Ada rasa takut yang membayanginya.

"Ger, kamu belum makan dari tadi. Makan dulu ya!" pinta gadis itu dengan lembut.

Gera menggelengkan kepalanya. Dia tadi sudah mengusir Adrian, dan dengan mudahnya lelaki itu menuruti permintaan Gera. Gera hanya ingin Novi, bukan makanan, bukan juga Eva. Gera takut Novi akan marah padanya nanti.

Eva berjalan mendekati Gera, dan menyentuh bahu lelaki itu. "Gera, kamu makan dulu ya! Biar nggak sakit, aku temenin kamu."

"Gue nggak mau makan! Sekali gue bilang enggak ya enggak!" seru Gera menatap gadis itu tajam.

Eva tertegun untuk sejenak, Gera tak pernah sekasar ini padanya. Mata Eva sudah berkaca-kaca. Ini bukan Gera.

"Ya udah, gue pergi aja!" Gadis itu segera pergi dari ruangan itu. Dia tak bisa dimaki seperti ini.

Gera tak mempedulikan Eva, yang kini jadi perhatian dan fokusnya hanya Novi. Gera benar-benar merasa kalut dengan keadaan ini. Dia seperti merasa kehilangan arah saat Novi terkulai lemas karena ulahnya. Gera seperti hilang akal. Novi tetap prioritasnya.

"Gera, apa yang terjadi?" tanya seseorang yang baru saja masuk ke ruangan Novi.

Gera menoleh, sebenarnya dia sudah tahu siapa pemilik suara berat itu. "Om Rico. Novi kena pukul, Om."

Pintu kembali terbuka, masuk seorang wanita beserta pemuda. Mereka adalah Nindi, ibu Novi dan Artha, kakak lelaki Novi. Artha segera menatap Gera tajam, penuh intimidasi.

"Ger, gue perlu ngomong sama lo," kata Artha tajam.

Gera mengangguk, dia sudah siap menerima apa yang akan diberikan Artha padanya. Dia tahu, Artha tak akan segan-segan untuk memukulnya, jika dia melukai Novi. Dia tahu tabiat kakak lelaki Novi itu.

Artha dan Gera berjalan keluar dari ruang rawat Novi dan menuju ke halaman belakang rumah sakit yang lumayan sepi.

Artha menatap Gera dengan datar, tak seperti biasanya yang selalu terlihat hangat dan bersahabat. Gera hanya menghela napasnya untuk bersiap menerima bentakkan atau bahkan bogeman.

"Perasaan gue udah pernah bilang, gue bakal maklumin kalau ada orang yang nyakitin hati adik gue, tapi gue bakal murka kalau dia sampai berani nyakitin atau ngelukain adik gue secara fisik, apalagi dia seorang cowok," ujar Artha santai dan terdengar datar, tanpa emosi.

Dalam hati, Gera kagum dengan Artha yang bisa mengontrol cara dia bicara agar tak terdengar membentak. Andai saja yang sedang bicara itu Gera, sudah dipastikan lelaki itu tak bisa mengontrol emosinya.

Artha melirik Gera yang masih membisu. "Gue yakin lo paham dengan perkataan gue itu. Gue paham omongan gue itu terdengar aneh bagi sebagian orang, tapi ini gue. Gue paham seperti apa perasaan itu, hati orang kita nggak bisa nebak, kan? Gue bahkan bisa digolongkan ke dalam lelaki brengsek yang suka gonta-ganti pacar, gue emang playboy. Makanya gue sendiri ngerasa nggak pantes untuk nentang cowok yang nyakitin hati adik gue, sementara gue sendiri suka nyakitin hati perempuan."

Artha menghela napasnya untuk meredam emosi yang mungkin kini sudah memuncak, tapi lelaki itu masih bisa mengontrolnya. Gera memejamkan matanya untuk sejenak.

"Gue paham maksud lo, Bang. Lo pernah berkata seperti itu sama gue. Gue memang punya tugas buat jagain Novi, tapi tadi itu gue bener-bener nggak sengaja. Kalau lo mau mukul gue, gue bakal terima. Bahkan gue pantes dapat lebih," sahut Gera.

Kode (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang