Gera mengantar Eva pulang ke rumahnya. Keadaan Eva tidak terlalu parah. Hanya ada beberapa luka ringan saja. Tak ada yang serius.
"Kamu istirahat ya!" perintah Gera setelah memapah Eva menuju ke sofa ruang tamu.
"Aku nggak papa, Ger. Yang penting kamu nemenin aku di sini sampai orang tua ku pulang nanti." Eva menatap Gera lekat.
Gera kini duduk di samping Eva. "Oke, aku temenin."
"Makasih, sayang," jerit Eva senang.
"Aku ke kamar mandi dulu ya!" Gera berdiri dan berlalu ke kamar mandi.
Eva hanya mengangguk sambil menatap Gera sampai hilang di belokan. Eva memainkan ponselnya dan tidak mempedulikan ponsel Gera yang bergetar karena ada beberapa panggilan masuk. Eva hanya fokus berbalas pesan di grup bersama teman-temannya.
Ponsel Gera terus bergetar di atas meja hingga Eva menyadarinya saat ingin mengambil remot televisi. Pandangan mata Eva jatuh pada ponsel Gera yang berkedip-kedip beberapa kali. Banyak panggilan masuk yang tak terjawab. Eva bingung. Saat ponsel Gera kembali menyala, kali ini nama 'Mama' terpampang nyata di ponsel lelaki itu. Eva hanya berani melihatnya tanpa ada niat untuk mengangkat, karena itu privasi Gera.
Gera menghampiri Eva yang tampak sedang memainkan ponselnya. Eva yang merasakan kehadiran Gera, segera mengalihkan pandangan dari ponsel dan menatap Gera yang selalu terlihat tampan di matanya. Tak ada cela.
Eva mengerjapkan matanya. "Ger, tadi ada telepon dari mama kamu."
Gera mengerutkan keningnya. Mamanya menelpon? Tidak salah? Bukannya mereka tak peduli dengan Gera? Bukankah mereka menganggap Gera sebagai parasit? Bukankah Gera tak diinginkan kehadirannya? Gera mengedikkan bahunya dan memilih untuk tak peduli dengan telepon dari mamanya.
"Kamu nggak ngehubungi balik?" tanya Eva.
"Nggak. Paling salah sambung," jawab Gera sekenanya. Hal itu membuat Eva bingung. "Kamu mau aku ambilin apa?" tanya Gera mengalihkan pembicaraan.
Eva tampak berpikir sejenak. Jarinya mengetuk-ngetuk dagu. "Kamu bisa buatin coklat panas nggak?"
Gera mengangguk. "Aku buatin."
Lelaki itu melenggang ke arah dapur. Ada sesuatu yang mengusik pikirannya. Tentang telpon dari mamanya. Apakah ada sesuatu yang darurat sampai mamanya menghubungi? Kalau iya, hal sedarurat apa? Lebih baik Gera lupakan saja masalah ini.
Gera membuka dua bungkus coklat dan menuangkannya ke dalam cangkir dan menuang air panas lalu mengaduknya. Ada perasaan aneh yang menyusup ke dalam hatinya. Perasaan yang bahkan tak bisa ia jabarkan dengan kata. Dia merasa seperti cemas, takut, dan tak peduli menjadi satu, hingga membuat perasaan abstrak yang sulit untuk dicerna. Dia bahkan tak tahu mana yang lebih mendominasi dari perasaan itu. Andai dia sadar, sebenarnya perasaan khawatir dan penasaran yang menyelimuti hatinya yang terbesar.
Andai Gera mau menekan egonya, andai Gera bisa melupakan, dia akan akan tahu isi hatinya, dia akan peduli pada perasaannya. Dia akan tahu apa yang sebenarnya terjadi. Entah setelah dia berlagak tak perduli, apakah dia akan menyesal atau merasa puas?
Yang jelas mamanya hanya ingin Gera segera menemui Novi yang keadaannya kritis. Karena seorang ibu tahu, bahwa gadis itu berharga untuk anaknya, gadis itu adalah setengah jiwa anaknya. Gadis itu yang membuat anaknya yang dulu kosong menjadi lebih bermakna.
💔💔💔
Di depan ruang IGD berkerumun banyak orang. Ada dua orang wanita paruh baya yang sedang menangis karena buah hati mereka berada di dalam ruang IGD dan sedang dirawat secara intensif. Ada juga lelaki berusia 21 tahun sedang duduk sambil mengepalkan tangannya. Dia merasa sakit yang teramat sangat saat adiknya sedang terbaring lemah di dalam sana.
KAMU SEDANG MEMBACA
Kode (Completed)
Teen Fiction"Lo kenapa sih, selalu marah kalau gue deket sama cowok?" tanya Novi dengan marah kepada cowok di depannya. "Masih nanya?" "Lo itu sebenarnya siapa sih, selalu ngatur gue? Emang selama ini apa hubungan kita?" Novi geram dengan cowok di hadapannya...