Gera menatap Novi yang masih saja terlihat murung sambil menatap jendela. Dia tahu, pasti Novi sedang meratapi kebodohannya tadi. Tapi Gera merasa bersyukur, sifat tempramennya sudah jauh berkurang. Dia sudah bisa mengendalikan emosinya. Tak sia-sia dia rutin terapi dan konsultasi ke psikiater.
"Sudahlah Nov, sudah telanjur juga," ucap Gera untuk memecah keheningan juga kecanggungan antara keduanya.
Novi tampak menghela napasnya. Gadis itu menyandarkan kepalanya ke sandaran kursi. "Gue nggak tau, Ger. Apa yang gue rasain kali ini."
Gera menghentikan laju mobilnya saat lampu lalu lintas berubah menjadi warna merah. Lelaki itu manatap Novi yang pandangannya lurus ke depan." Maksud lo?"
"Gue bingung sama perasaan gue saat ini. Gue suka sama lo. Gue akuin ini di depan lo langsung, tapi ada perasaan berbeda saat gue bersama Adrian, gue nyaman, gue senang, gue ... entahlah, gue nggak paham."
Gera terdiam, lelaki itu kembali menginjak pedal gas dan melajukan mobilnya perlahan saat lampu lalu lintas berubah menjadi warna hijau. Lelaki itu menghela napasnya. Sebenarnya pengakuan Novi membuatnya merasa bahagia, tapi saat perasaan gadis itu terbagi, dia sungguh merasa sakit dan menyalahkan diri sendiri atas perasaan Novi yang terbagi. Ini salahnya karena tak bisa diandalkan Novi untuk menjadi orang yang selalu di samping gadis itu.
Hanya keheningan yang melanda keduanya sampai di depan gerbang rumah Novi. Gera mematikan mesin mobilnya. Keduanya saling diam, tak bergerak meski sudah sampai tempat tujuan. Keduanya menerka apa yang sebenarnya mereka rasakan serta pikirkan. Sungguh suasananya terasa begitu sendu.
"Nov, gue minta maaf. Semua salah gue, harusnya perasaan lo nggak terbagi begini. Harusnya gue nggak bodoh, Nov. Sejak awal gue paham sama perasaan gue ke lo, tapi bodohnya gue selalu menepisnya dan memilih untuk menjadikan Eva sebagai pacar gue," ungkap Gera setelah keheningan yang mereka ciptakan.
Novi masih diam. Dia tak tahu apa yang ia rasakan saat ini. Mendengar pengakuan Gera adalah apa yang dia harapkan selama ini. Dia sedang menerka, apakah dia masih mencintai Gera atau sudah berpindah. Rasanya begitu sulit untuk Novi, meski hanya sekadar berbicara sepatah kata.
Gera meraih tangan Novi, lalu menggenggamnya dengan lembut. Gera menatap Novi dengan dalam. "Gue sayang sama lo, Nov. Gue cinta sama lo. Selama ini gue bodoh emang. Nov, gue nggak bisa maksa lo jawab iya, tapi Nov, lo harus tahu apa yang gue rasa biar gak ada salah paham lagi antara kita."
Novi menatap mata Gera yang begitu menunjukkan ketulusan dan kesungguhan. Jantung Novi berdetak labih cepat, tapi tak semenggebu biasanya. Novi memejamkan matanya. Kenapa disaat apa yang dia tunggu datang, tapi perasaan itu sedikit memudar, atau ini hanya ketakutan jika Gera hanya mempermainkannya, takut Gera meninggalkannya. Dia lebih percaya Adrian, atau entah Novi tak bisa mengerti dengan hatinya sendiri.
"Ger, gue juga sayang sama lo, tapi gue nggak ngerti harus gimana lagi," ucap Novi dengan frustasi.
Gera menatap Novi dalam. "Kita jalani ya, Nov. Jika perasaan lo ke gue semakin menguat, kita lanjutkan, tapi kalau semakin memudar, gue mundur, Nov. Kejar apa yang hati lo minta!"
Novi kembali memejamkan matanya, lalu menatap Gera untuk mencari sesuatu di sana. Tak ada. Novi benar-benar bingung saat ini. "Jadi sekarang kita apa?"
Gera tersenyum geli, lalu melepaskan genggamannya pada Novi. "Kita sahabat."
"Hah? Nggak ada yang berubah tentang status kita?" tanya Novi heran.
Gera tertawa melihat kebingungan Novi. "Iya, kita sahabat, bisa juga kita pacaran, juga layaknya seperti teman, serta seperti kakak adik yang saling menjaga dan melindungi. Gue nggak mau cuma status pacaran terus kita harus romantisan setiap saat."
"Terserah deh." Novi memberengut kesal. Gera tersenyum geli dengan kelakuan Novi.
"Udah ah, nggak usah ngambek! Nggak cocok. Maaf ya, nggak bisa ngasih hal romantis di hari jadian kita, jadi jangan lagi tanya status ya, karena nggak ada status yang pasti kalau belum jadi keluarga, Nov." Gera mengusap kepala Novi dengan lembut.
Novi tersenyum, hatinya kembali merasa bahagia. Dia belum bisa menerka sepenuhnya, tapi perlahan perasaannya membaik. Gera melepaskan sabuk pengamannya, lalu membukakan juga sabuk pengam Novi. Novi sempat menahan napasnya saat jarak antara dirinya dan Gera begitu dekat.
"Yuk keluar, dan masuk temuin papa kamu tuh yang sedari tadi nungguin kita yang nggak keluar," kata Gera yang menyadarkan Novi dari lamunannya dan menatap ke teras rumah di mana papanya sedang berdiri di sana.
👣👣👣
Setelah pengakuan perasaan Gera waktu itu, keseharian mereka kembali seperti sedia kala, ada beberapa hal yang berubah, seperti Gera yang lebih manis ke Novi, juga setiap pagi, Gera selalu berada di rumah Novi untuk menjemput gadis itu dan mengantarkan ke sekolah.
Seperti pagi ini, Gera sudah duduk di meja makan bersama keluarga Novi. Tak ada yang heran, karena kehadiran Gera di rumah ini merupakan hal biasa bagi kedua orang tua Novi serta Artha. Artha sudah tahu bagaimana hubungan adiknya dan Gera saat ia bertanya pada Gera. Artha paham.
Setelah sarapan dengan sedikit obrolan ringan yang menghangatkan suasana, Gera mengantar Novi ke sekolahnya. Lelaki itu tersenyum, tapi ada yang aneh dari Gera hari ini.
"Lo kenapa, Ger?" tanya Novi akhirnya.
Gera mengalihkan tatapannya ke arah Novi. "Nggak papa, Nov."
"Jangan bohong, Ger! Ada yang lo pikirin, gue tahu."
Gera menghela napasnya. "Gue iri sama keluarga lo. Gue kangen papa gue. Gue kangen kehidupan gue sebelum semua terjadi, Nov."
Novi meraih tangan Gera yang masih memegang setir, lalu menggenggamnya serta mengusapnya lembut. "Mama kamu menyesal, Ger. Beliau pernah cerita, beliau sedih saat kamu membencinya. Maafin mama kamu, ikhlasin, terima mama kamu, Ger!"
Gera menarik Novi ke dalam pelukannya, lalu lelaki itu menangis. "Aku juga ingin memaafkan mama, tapi untuk menerima kembali itu sulit, Nov. Trauma yang aku alami sungguh menyiksa, Nov."
Mereka sudah merubah panggilan, artinya pembicaraan mereka serius dan menyangkut orang lain. Terutama masa lalu Gera.
"Bayangan itu selalu menghantui aku. Sulit, Nov. Walau mama sudah berubah, tapj aku selalu melihatnya seperti monster saat bayangan itu kembali."
Novi mengusap punggung Gera. Menenangkan lelaki itu, setelah lelaki itu mulai tenang, Novi melirik jam yang melingkar di pergelangan tangannya. Mata gadis itu membulat sempurna.
"GERA, GUE TELAT! INI UDAH JAM TUJUH!" seru Novi yang membuat Gera segera melepaskan pelukannya dan menjalankan mobilnya dengan kecepatan di atad rata-rata.
"Nanti gue jemput!" seru Gera saat Novi membuka pintu mobilnya setelah sampai di depan gerbang sekolahnya. Gadis itu mengangguk, lalu melenggang begitu saja karena sudah terlambat.
👣👣👣
Halo gaess.... GeraNovi come back... Masih ada yang setia baca ini cerita?
Oh iya, ini udah mendekati ending loh... Akhirnya deh, tinggal 2-3 chapter lagi end... Sumpah ya, nulis cerita ini tuh sulit banget, sering hilang feel dan drama drama menulis lainnya...
Give me vote and comment guys
Thank you, before... Hehehe..
😘😘😘
KAMU SEDANG MEMBACA
Kode (Completed)
Teen Fiction"Lo kenapa sih, selalu marah kalau gue deket sama cowok?" tanya Novi dengan marah kepada cowok di depannya. "Masih nanya?" "Lo itu sebenarnya siapa sih, selalu ngatur gue? Emang selama ini apa hubungan kita?" Novi geram dengan cowok di hadapannya...