Empat Belas

2K 178 17
                                    

Artha tampak bernapas lega saat kini Novi sudah dipindahkan di ruang rawat. Ketakutan yang semula sangat besar kini semakin berkurang. Keadaan Novi sudah stabil, kata dokter, Novi hanya tinggal menunggu sadar saja.

Artha melihat adiknya yang penuh dengan perban, Artha meringis saat membayangkan rasa ngilu yang Novi rasakan. "Jangan bangun dulu, pasti sakit banget."

Artha menoleh saat pintu kamar terbuka, terlihat kedua orang tuanya di sana. "Artha, kamu pulang aja, biar Mama yang jagain Novi!"

"Mama aja yang pulang! Mama istirahat, Artha yang jagain Novi." Artha memang sesayang itu pada Novi.

Sang mama mendekat, mengelus kepala anak lelakinya dengan sayang. "Kamu tidur kalau begitu, Mama juga di sini."

Artha mengangguk, lalu beralih ke sofa panjang di dekat pintu, lalu berbaring di sana. Sang mama duduk di kursi yang tadi diduduki oleh Artha, lalu menatap anak perempuannya yang sedang terbaring lemah.

"Kamu bangun ya, Sayang! Banyak orang yang butuh kamu. Semua sedih kalau kamu begini," ucapnya lirih.

Artha yang mendengar ucapan sang mama langsung bangkit dan menghampiri mamanya. Tanpa berpikir panjang, lelaki itu sudah memeluk mamanya dengan erat.

"Mama tidur ya!" pinta Artha sambil menuntun mamanya menuju sofa.

Sang mama menggeleng. "Mama mau jagain Novi!"

"Mama perlu tidur," kata Artha lembut.

Sang mama akhirnya mengangguk dan membaringkan badannya. Artha menghela napasnya lalu kembali ke kursi samping ranjang Novi. Artha memandang adiknya dengan tatapan sendu.

Artha membaringkan kepalanya ke samping tubuh Novi, lalu lelaki itu memejamkan matanya karena kelelahan selama beberapa hari ini banyak pikiran.

⌚⌚⌚

Gera terduduk di dalam kamarnya. Lelaki itu mencari sesuatu di dalam lacinya, tapi dia tak menemukan apa yang ia cari. Gera berteriak frustasi. Dia sangat perlu barang itu untuk meredakan sesak yang bergelayut di hatinya.

Gera berjalan ke arah kamar mandi. Dia berdiri di depan cermin yang kini sudah tak berbentuk lagi. Lelaki itu kembali berteriak. Dia butuh pelampiasan. Lelaki itu kembali meninju cermin yang sudah ia rusak sebelumnya.

"Novi, lo nggak boleh sakit!" teriak Gera.

Gera mengambil serpihan kaca dan menggenggamnya erat-erat sampai darah segar mengucur di telapak tangannya. Gera mengangkat telapak tangannya, lalu melihat tangannya yang kini berdarah. Gera mengangkat sudut bibirnya saat melihat darahnya.

"Maafin gue, Nov. Tanpa lo gue nggak tahu jadi apa." Gera tertawa dengan keras, lalu lelaki itu luruh ke lantai.

Gera memukuli lantai dengan lemah, tak peduli luka dan juga darah yang memenuhi tangannya. Air mata tak terasa keluar dari bola mata tajam itu. Lelaki itu mengambil serpihan kaca dan ingin menyayat pergelangan tangannya, tapi suara pintu dibuka.

"Gera!" pekik wanita paruh baya.

Gera tak memperdulikan, dia ingin melanjutkan kegiatannya, sang mama buru-buru memegang tangan Gera dan memeluk anak satu-satunya. Gera masih ingin melanjutkan aktivitasnya, tapi sang mama mengambil serpihan kaca dan melihat keadaan Gera.

Gera melemah, sang mama menangis melihat keadaan Gera yang seperti ini. "Gera, maafin Mama!"

Wanita itu mengajak Gera berdiri dan membersihkan tangan Gera. Gera hanya pasrah. Setelah itu, ia menuntun Gera ke kamarnya dan mengambil kotak P3K yang ada di kamar Gera. Dengan telaten sang mama mengobati luka Gera.

Kode (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang