dua

66 9 0
                                    

AKU sempat terkejut ketika pagi pukul delapan, Adam sudah tiba di depan rumahku. Tubuhku mundur lagi setelah sudah membuka pintu. Memberi jarak dengan laki-laki yang sekarang berdiri di hadapanku, memamerkan senyum. Namun hanya kubalas dengan tatapan datar.

"Pagi, Lentera."

Aku masih bergeming di tempat. Keningku berkerut. Mataku menatapnya dengan pandangan bertanya. Heran kenapa dia bisa ada di sini pagi-pagi sekali. Tapi, dia justru semakin mengembangkan senyumannya. Yang entah kenapa, aku yakin senyumannya itu menyiratkan sesuatu.

Ah, aku menangkap sesuatu. Adam pasti disuruh Mama.

"Bisa gak, ketuk-ketuk pintu dulu?" Aku berkata ketus tanpa menghiraukan sapaannya tadi. Kedua tanganku terlipat depan dada. Sebisa mungkin, aku memasang wajah tak bersahabat ke Adam.

Tapi, bukannya merasa gimana-gimana, di depanku Adam malah tertawa menyengir. "Tadi baru mau ketuk pintu, tapi udah dibuka duluan sama kamu."

Memutar bola mata, aku menatapnya sejenak. Menyipit sinis. Demi apapun, entah kenapa aku tidak bisa menghilangkan rasa tidak suka ku padanya. Tapi di sisi lain ada rasa iba karena ... aku terlalu jahat tidak sih?

"Siapa, Lenteraa?!" Seruan itu membuatku agak tersentak. Aku menolehkan kepala ke belakang. Ternyata Mama yang berteriak dari arah dapur. Ia bahkan sampai menghentikkan kegiatannya memasak hanya untuk melongokkan leher, mengintip.

"Adam!" balasku dengan berseru juga. Lalu, aku kembali menatap Adam. "Mau masuk? Atau di luar aja?"

"Masuk," jawab Adam.

Aku menyingkir dari ambang pintu dan membalikkan badan, melangkah menuju ruang tamu. Sementara Adam berjalan mengekori di belakang. Tepat sekali saat itu, Mama sudah berjalan ke luar dari dapur. Melangkah menghampiriku dengan senyum sumringah yang seketika mengembang lebar di wajahnya.

"Eh, Adam!" Mama berseru riang.

Baru saja Adam ingin menghampiri Mama, aku langsung memberinya intruksi berhenti melangkah menggunakan satu tangan yang kurentangkan. "Diem dulu, aku mau ngomong sama Mama."

"Tapi aku mau salaman, Ra."

"Ntar dulu," kataku sedikit menekan.

Adam terlihat menghela napas. Ia mengangguk menyetujui, walaupun kelihatannya terpaksa. Tapi aku tidak mempedulikan itu. Aku langsung berdiri di hadapan Mama, meraih kedua pergelangan tangannya dan menariknya pelan. Agak menjauh dari Adam.

Mama terlihat keheranan karena tingkahku. Namun dia tidak menahan kakinya dan mengikuti aku yang membawanya ke perbatasan antara dapur dan ruang tamu.

"Mama yang nyuruh Adam dateng pagi-pagi gini, ya?" tanyaku tepat pada intinya.

Mendengar pertanyaanku, ekspresi bingung Mama tadi memudar perlahan. Berganti senyum tipis yang lama-lama mengembang lebar. "Iya, Mama yang nyuruh. Biar dia ngajak kamu jalan-jalan, sekalian nih Mama nitip beli kue buat acara sama temen Mama nanti."

Aku membuka mulut, hendak memprotes. Namun entah kenapa tidak ada kata yang keluar dari mulutku. Alhasil, aku kembali menutup bibirku seraya mendengus dan melengos. Hampir saja aku melupakan fakta kalau yang ada di hadapanku adalah; Mama. Mau kuprotes dengan cara apapun, dia pasti akan tetap pada pendiriannya.

"Oke," tandasku pada akhirnya. "Mana uangnya, Ma?"

Melihat aku yang setuju begitu saja, Mama sedikit melongo. "Ini kamu, Lentera? Lentera Putri Senjana?" tanyanya tak percaya. Kedua tangannya bahkan terjulur dan memegang kedua pipiku.

"Iyaaaa, Mama. Ini Lentera Putri Senjana," ujarku sambil menjauhkan pelan tangan Mama dari pipi.

"Sering-sering gini ya, Ra. Biar Mama gak perlu repot-repot siapin kata-kata buat debat sama kamu." Mama tersenyum senang sambil merogoh saku bajunya. "Padahal Mama udah lulus SMA. Tapi masih lomba debat sama anak Mama sendiri."

LENTERA(M) ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang