"Adam! Adam lepasin!"
"Adam!!"
"Ish! Kamu budek apa gimana sih?!"
"Adam lepasin!"
Sudah berkali-kali aku meronta-ronta seperti itu namun Adam tetap berjalan sambil menarik tanganku. Aku meringis, mengedarkan pandangan ke sekeliling. Banyak murid yang berkumpul di koridor ini. Mata mereka semua tertuju padaku yang ditarik oleh Adam. Masing-masing menunjukkan raut wajah keheranan.
Adam masih tidak peduli walaupun aku meronta-ronta. Setelah kedatangannya yang tiba-tiba di Rooftop, ia langsung menarik tanganku pergi. Dari samping, aku bisa melihat aura kemarahan yang terpancar dari wajah dan tatapan Adam. Cowok itu sama sekali tidak menoleh, terus menatap ke depan seolah tidak peduli banyak murid yang menatap kami.
Aku tidak peduli dengan murid-murid yang mulai bertambah banyak di sekeliling koridor. Yang jadi masalah sekarang; Adam mencengkeram pergelangan tanganku terlalu erat. Mungkin saja sudah memerah.
"Adam!"
Suara yang menggelegar itu menghentikkan langkahku dan Adam. Kami berdua kompak menoleh ke belakang, mendapati Bram melangkah tegap menghampiri kami. Tatapannya begitu nyalang. Sebagian murid kemudian menyingkir, memberi jalan untuk Bram. Ada Gilang, Dirga, Putra, Imei, Farisa dan Glandis yang menyusul dari belakang.
Dari sini, aku melihat aura kemarahan yang begitu kental di ekspresi Bram. Kedua tangannya terkepal di kedua sisi tubuhnya. Kepalanya sama sekali tidak menoleh walaupun seruan dari ketiga temannya terdengar. Bahkan murid-murid melempar tatapan bertanya dan semakin memasang wajah keheranan.
"Bram! Woi!" Kali ini seruan terdengar dari Gilang. Cowok itu tergesa-gesa menghampiri Bram yang sudah berada beberapa meter di hadapan kami.
Kurasakan cengkeraman Adam semakin mengerat. Aku meringis. Baru bergerak sedikit, rasanya ngilu.
"Lo mau ngapain, huh?" Adam tersenyum sinis setelah Bram tiba tepat di hadapannya. Dagunya terangkat seolah menantang Bram.
Bram diam. Masih dengan tatapan tajam, matanya tertuju ke padaku. Entah kenapa tatapannya sekarang begitu menusuk. Beberapa detik memandangiku yang berusaha menahan sakit karena cengkeraman Adam. Lalu, tatapannya turun ke pergelangan tanganku.
"Lepasin Lentera."
Bram mengucapkan itu santai. Namun ada ketegasan yang tersirat di ucapannya. Aku semakin meringis. Selain karena sakit di pergelangan tangan, juga karena waspada melihat Adam sudah mengeraskan rahangnya.
"Dia punya gue. Jadi terserah gue," tegas Adam menjawab ucapan Bram.
"Lo gak liat Lentera kesakitan?" tanya Bram seraya menunjukku lewat gedikan bahu.
Tanpa aba-aba, Adam melepas cengkeraman tangannya dan langsung memegang kerah baju Bram. Mengangkatnya tinggi-tinggi, lalu mendorong tubuh Bram dengan kasar sampai menubruk tembok. Aku langsung melotot lebar melihat serangan mendadak dari Adam.
"Urusannya sama lo apa?!" Suara Adam meninggi satu oktaf. Membentak tepat dua jengkal di depan wajah Bram.
Bram tak berekspresi apa-apa saat dibentak Adam. Dia beradu pandang sengit dengan cowok di hadapannya. Sedetik kemudian, kedua tangannya langsung mendorong dada Adam sekaligus menendang perut Adam sampai cowok itu mundur beberapa langkah. Meringis memegangi perutnya.
"Gue gak suka Lentera dikasarin! Lo mau apa?!" Bram balas membentak Adam.
Farisa, Imei dan Glandis langsung membawaku mundur ketika aku ingin melerai mereka. Imei menggeleng dengan tatapan tegas seolah melarangku. Aku mundur beberapa langkah mengikuti mereka bertiga, menyaksikan Bram dan Adam yang saling beradu tatapan tajam.
KAMU SEDANG MEMBACA
LENTERA(M) ✔
Dla nastolatków|| Selesai || Kamu adalah bentuk ketidakkejaman semesta yang sudah aku sia-siakan. - Lentera Putri Senjana.