"Satenya dua bungkus ya, Bu. Gak pake lontong."
Suara seseorang yang terdengar familiar itu sukses mengangkat kepalaku dari buku jurnal. Dari belakang, aku melihat sosok laki-laki berperawakan tinggi dengan jaket biru dongker. Walaupun tidak kelihatan wajahnya, tetap saja aku tau kalau itu adalah Bram. Suaranya sudah terlalu melekat dalam kepalaku.
Tak lama, laki-laki itu menoleh ke belakang. Matanya beredar--mungkin mencari kursi kosong. Lalu tiba-tiba mata laki-laki itu berhenti beredar saat melihat keberadaanku. Tepat saat itu juga, aku langsung menundukkan kepala. Berpura-pura sibuk menulis supaya Bram tidak melihatku. Ah, lebih tepatnya supaya aku tidak melihat wajahnya.
Diam-diam, aku melirik kursi kanan-kiri. Dan tidak tau harus kusebut keberuntungan atau tidak, kursi yang kosong hanya tersisa di sebelah kananku. Otomatis kalau Bram mau duduk dia akan duduk di sebelahku.
Ah, itu kalau dia mau.
"Sejak kapan di sini?"
Tepat sekali setelah aku merasa Bram tidak akan mau duduk di sebelahku, aku merasakan pergerakan dari samping. Mataku sedikit melebar terkejut ketika melihat Bram sudah duduk di sampingku. Namun keterkejutan hanya sementara sebelum aku cepat-cepat menormalkan lagi ekspresi wajahku.
"Baru aja," jawabku tanpa melihat Bram.
Lentera ... kenapa jadi gugup tiba-tiba gini sih?
Aku melirik Bram lagi. Pandangannya kembali terarah ke depan. Cowok itu mengangguk-angguk paham sambil menggumam panjang.
Untuk beberapa detik, hening melanda kami. Aku tidak tau kenapa rasa canggung tiba-tiba menyerang diriku. Padahal sebelumnya tidak seperti ini. Ingin berkata namun tidak tau berkata apa.
"Kadang saya mikir ..." Bram berujar lagi, sukses membuatku tersenyum kecil karena akhirnya ada suara darinya. Dia mengembuskan napas pelan sebelum berkata lanjut. "Kenapa setiap saya ingin pergi ke mana selalu ketemu kamu. Seolah-olah semesta udah berkonspirasi sama alam raya buat mempertemukan saya dan kamu dimanapun."
Katakan, sejak kapan setiap perkataan Bram berhasil membuatku tersenyum? Seperti ada sihir yang sukses membuat jantungku mendadak berpacu cepat. Aku semakin diserang gugup. Namun aku berusaha menutupi itu dengan berpura-pura sibuk menulis.
Padahal aku tidak menulis apapun. Hanya mencoret-coret asal dan menggenggam erat bolpoin. Berusaha meredakan detak jantung di luar ritme.
"Seharusnya saya pergi ke penjual sate yang lain. Tapi ujung-ujungnya milih kesini walaupun semuanya deket, gak ada yang jauh. Kayak ... semesta sengaja gitu," tutur Bram lagi. Aku memejamkan mata saking merasa gugup. "Ya gak, Ra?"
"Ha? A-apa?" Aku langsung mendongak kaget saat dia melempar pertanyaan padaku.
Bram menghela napas. "Melamun lagi?" tanyanya mengangkat kedua alis dan tersenyum geli.
"Enggh... enggak sih." Jawabanku memang sepenuhnya benar. Aku yang masih bisa mendengar apa yang ia katakan tadi kembali berujar, "Ini bukan ulah semesta seutuhnya. Karena terkadang, intuisi yang bermain justru menggerakkan kaki kita ke suatu tempat. Seolah-olah intuisi itu tau ada dimana orang yang menjadi pusat pikiran kita berada."
Detik setelah aku mengucapkan kalimat yang panjang-lebar itu, hening melanda lagi. Aku diam-diam melirik Bram yang kini sudah menatapku lamat. Kemudian aku mengalihkan tatapan ke lain arah sambil meringis kecil. Takut mengucapkan salah-salah kata. Pasalnya tatapan Bram sekarang begitu menyiratkan sesuatu.
KAMU SEDANG MEMBACA
LENTERA(M) ✔
Genç Kurgu|| Selesai || Kamu adalah bentuk ketidakkejaman semesta yang sudah aku sia-siakan. - Lentera Putri Senjana.