tujuh

27 5 0
                                    

-----

Masih banyak hal yang belum kamu pahami ternyata. Mungkin, salah satunya, menjadi menyebalkan adalah cara agar saya dan kamu tak lagi asing.

-----

JAM menunjukkan pukul satu malam ketika aku sudah menyelesaikan dua bab tulisanku.

Membuang napas kasar, aku menutup laptop pelan-pelan setelah mematikannya. Kopi yang setia menemaniku saat menulis sekarang tersisa setengah. Kuseruput sedikit, lalu menghela napas lega. Seharusnya sekarang aku sudah merasa ngantuk. Tapi entah kenapa sekarang malah tidak ngantuk sama sekali. Apa ini efek kopi yang kuminum, ya?

Ah, biasanya tidak.

"Enaknya ngapain, ya?" tanyaku bermonolog. Menggigit bibir bawah dan menyandarkan punggung, aku mengedarkan pandangan ke sekeliling kamar. "Main gitar? Ah, udah malem. Nyanyi? Suaraku kan sumbang. Nulis? Masa nulis lagi?"

Beberapa saat aku terdiam. Akhirnya aku beranjak dari posisi duduk. Setelah mematikan lampu belajar, aku mengambil gelas berisi kopi. Sebenarnya hendak menuju balkon depan kamar. Tapi, sebuah suara menginterupsi langkahku.

Tuk!

Aku menoleh ke arah balkon samping kamar. Dari balkon samping kamar, aku mendengar suara yang samar-samar. Seperti suara kerikil yang dilemparkan ke jendela. Tapi aku tidak tau persisnya itu suara apa. Masa malam-malam begini ada yang melempar kerikil ke jendela kamarku?

Tuk!

Suara itu lagi.

Keningku semakin berkerut dalam. Penasaran, aku akhirnya melangkah menuju balkon samping kamar. Lama-lama merasa kesal juga karena suara itu kembali terulang untuk ketiga kalinya. Aku berjalan mengendap-ngendap, sesekali melongokkan kepala ke samping, lalu melonjongkan leher. Setelah tiba di dekat jendela, aku memepetkan tubuh ke tembok.

Aku sempat mengintip dari balik tirai jendela. Samar-samar terlihat siluet seseorang berdiri. Lalu perlahan, aku membuka sedikit tirainya untuk mengintip siapa yang berdiri di sana.

Dan, seperti biasanya.

Di balkon kamar rumah sebelah, yang bersebrangan dengan balkon kamarku, Bram berdiri. Melipat kedua tangan di atas pembatas balkon dan melemparkan batu ke jendela kamarku sekali lagi.

Dasar menyebalkan!

Tanpa pikir panjang, aku langsung menyibak tirai jendela. Berkacak pinggang dan menatap Bram dengan pandangan garang. Tingkahku barusan membuat pergerakan Bram yang ingin melempar batu--lagi--terhenti. Sekarang dia malah memasang cengiran kudanya.

"Kamu ngapain sih?" tanyaku usai membuka pintu jendela dan berjalan ke pembatas balkon.

Alih-alih menjawab pertanyaanku, Bram malah bertanya. "Belum tidur?"

"Liat aku berdiri di sini, kan?"

"Liat."

"Yaudah berarti belum tidur." Aku menjawab sambil melengos malas. Sedetik kemudian aku menoleh lagi ke Bram. "Kamu lemparin batu ke jendela, berarti kamu tau kalo aku belum tidur. Tau dari mana?"

Bram terkekeh seraya memainkan batu-batu yang ada di tangannya. "Gampang." Dia menunjuk ke arah kamarku. "Lampu kamar kamu nyala. Padahal kemarin mati."

Mataku menyipit menatapnya mengintimidasi. "Kamu mata-mata, ya?"

Bram berkerut kening, tersenyum geli. "Mata-mata apaan?" tanyanya balik.

LENTERA(M) ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang