tujuh belas

19 2 0
                                    

****

|| Aku terjebak pada teka-teki semesta; pada perasaanku sendiri; pada ego yang membuatku hanya bisa bungkam; pada kamu yang menjelma teduh; pada kisah rumit yang aku tidak tau bagaimana akhirnya nanti. ||

****

Bram hari ini tidak masuk.

Aku membolak-balik surat keterangan izin yang terletak di atas meja dengan ekspresi tidak nafsu ngapa-ngapain. Sejak semalam, aku tidak melihat Bram sama sekali. Bahkan tadi pagi, laki-laki jangkung itu tidak kelihatan batang hidungnya.

"Ra," sebuah panggilan terdengar dari samping. Aku yang bertopang dagu menggunakan satu tangan menoleh malas ke Glandis. "Kenapa sih?"

Pertanyaannya tidak langsung kujawab. Jam ini pelajaran Bahasa Inggris kosong. Seperti yang sudah menjadi tradisi; kelasku ramai bak pasar. Tapi tentu saja, keramaian di kelas ini masih terasa kurang bagiku.

Kutolehkan pandangan ke bangku pojok. Ada Gilang, Putra dan Dirga di sana. Mereka bertiga tidak seperti biasanya yang petakilan sekali. Sekarang hanya duduk, sesekali tertawa kecil merespon candaan yang lain. Sedangkan Gilang tampak tiduran menyenderkan kepalanya. Tasnya sengaja didirikan di tembok sebagai bantal.

Bram tidak ada di sana.

Padahal baru satu hari dia tidak masuk, tapi aku merasakan sesuatu yang tidak enak. Sekarang Bram menjelma menjadi apa-apa yang kulihat; sudut Kantin, sudut ruang kelas, mainan kertas yang dia buatkan untukku, bunga yang diberinya semalam. Semua pasti langsung mengingatkanku pada Bram.

Tidak ada gema tawanya hari ini.

"Gue gak percaya kalo Bram tiba-tiba gak masuk karena ada acara keluarga," ujar Imei yang mendadak duduk di sebelahku.

Aku tidak menjawab, tapi diam-diam aku menyetujui ucapan Imei.

Helaan napas terdengar dari Farisa. "Iya, biasanya juga gak pernah gak masuk karena alasan kayak gitu," jawabnya menyetujui ucapan Imei.

"Tapi, bisa aja emang dia ada acara keluarga, kan?" tanya Glandis.

"Ya... meragukan banget lah, Dis. Sepanjang kita sekelas sama dia gak pernah dia izin acara keluarga," sanggah Farisa. Gadis itu tengah memegang bungkus chiki keripik kentang.

Aku hanya menyandarkan punggung ke kepala kursi, menyaksikan ketiga temanku itu tanpa membalas apa-apa. Mereka masih sibuk mengeluarkan pendapat tentang ketidakyakinan mereka kalau Bram ada acara keluarga.

Aku sendiri sebenarnya juga tidak yakin. Sejak tadi--sejak semalam maksudku, banyak sekali pertanyaan yang memenuhi otak. Bahkan pertemuan keluargaku dan keluarga Adam aku sama sekali tidak fokus. Surat darinya yang ada di balkon kamar semalam sukses merubah sudut pandangku tentang dia.

Awalnya yang menganggap Bram menyebalkan. Sampai akhirnya, kalimat itu seolah menamparku secara tidak langsung. Ada setitik rasa bersalah yang muncul dalam diriku. Mengingat ada seseorang yang memperlakukanku seperti ini; aku merasa sesuatu menggelitik perutku saat membaca beberapa deret kalimat yang ia tulis.

Ada apa ini?

Aku kenapa?

"Ra ...."

LENTERA(M) ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang